JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, langkah pemerintah menjual global bond untuk membiayai pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia tentunya bukan sembarangan.
Kebutuhan untuk membeli 51 persen saham Freeport Indonesia butuh dana yang besar dalam mata uang dollar AS, yakni sebesar 3,85 miliar dollar AS atau setara Rp 55,44 triliun.
Pemerintah enggan mengorbankan cadangan devisa untuk membayarkan saham tersebut. Sebab, dampaknya akan buruk bagi perekonomian Indonesia.
"Kita tidak mau cadangan dollar kita tergerus lagi. Nilai rupiah bisa tertekan lagi kalau diambil dari lokal," ujar Rhenald dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/12/2018).
Baca juga: Gerindra: Freeport Dibayar Inalum Pakai Global Bond, Artinya Utang dari Asing...
Oleh karena itu, kata Rhenald, pemerintah harus memutar otak bagaimana bisa melunasi pembayaran dalam waktu singkat tanpa harus menggerus cadangan negara. Terkait pilihan pemerintah untuk jual global bond, pemerintah butuh surat utang yang tenornya panjang, bahkan sampai 30 tahun. Hal ini dilakukan agar hasil Freeport bisa segera dinikmati masyarakat Indonesia.
Dalam laporan keuangan PTFI disebutkan bahwa EBITDA dalam setahun sekitar 4 miliar dollar AS. Sementara net profitnya sekitar 2 miliar dollar AS. Jika tenor utangnya jangka pendek, Rhenald menilai hal ini bisa memberatkan.
"Karena kini kita berhasil memiliki sahamnya sebesar 51,2 persen, bisa dikatakan dalam setahun Indonesia bisa menikmati 1 miliar dollar AS lebih. Itu duit gede," kata Rhenald.
Dengan demikian, hanya dalam waktu empat tahun, global bond selesai dan setelahnya Indonesia bisa menikmati hasil melimpah selama 50 tahun ke depan. Sebab, jumlah surat utangnya hanya sekitar 4 miliar dollar AS sebagai kompensasi yang dibayarkan ke PTFI.
"Aneh kalau kehebatan ini disalah-salahkan," kata Rhenald.
Baca juga: Ini yang Bisa Terjadi jika Kontrak Freeport Tak Diperpanjang hingga 2041