Alih-alih memberi kepastian, media tradisional, yang dulu menjadi the guardian angle of information, tak sedikit yang terpeleset mengamplifikasi ketidakpastian semata-mata demi kepentingan komoditas informasi. Informasi malah menjadi sumber kecemasan baru.
Jurnalisme Makna
Bagaimana media seyogianya menempatkan diri di era banjir informasi? Pendiri harian Kompas Jakob Oetama jauh-jauh hari bicara soal jurnalisme makna.
Ia menyampaikan gagasannya ini saat dikukuhkan sebagai doktor kehormatan Universitas Gadjah Mada pada 17 April 2003.
Baca juga: Jakob Oetama, PK Ojong, dan Sejarah di Balik Lahirnya Kompas
“Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan. Lubernya informasi tidak lain berarti bahwa ada jenis informasi yang bukan saja tidak sempat diolah akan tetapi juga sama sekali tidak mungkin dipakai,” kata Jakob dalam pidatonya.
Menurut dia, seorang wartawan seyogianya tidak hanya memberitakan sebuah peristiwa, tapi masuk lebih jauh menggali apa makna dari peristiwa itu.
“Seorang wartawan harus mampu mengambil jarak atas peristiwa yang ditulisnya dan menarik sebuah refleksi atas peristiwa tersebut. Dengan begitu, pembaca mendapatkan enlightment atau pencerahan,” tutur Jakob.
Tugas media, ia menegaskan, adalah mencari dan menghadirkan makna dari peristiwa dan masalah, besar dan kecil.
Pencarian makna itu berpedoman pada politics of values, yaitu tentang apa yang baik dan tidak baik, penting dan tidak penting, bukan politics of power, politik kekuasaan atas dasar kepentingan kelompok atau segelintir orang.
Oleh karena itu, jurnalis dituntut untuk tidak sekadar membuat laporan, tapi laporan yang komprehensif yaitu laporan yang berusaha memaparkan seluruh persoalan berikut aneka macam latar belakang, interaksi serta prosesnya.