KOMPAS.com - Pertanyaan tentang asal muasal Stonehenge telah membingungkan publik dan ilmuwan selama ini.
Meskipun bertahun-tahun melakukan penelitian, sangat sedikit informasi yang diketahui tentang: siapa yang mendirikan formasi batu besar tersebut.
Christophe Snoeck dari Oxford bersama rekan-rekannya dari Université Libre de Bruxelles & Vrije Universiteit Brussel danMuséum National d'Histoire Naturelle de Paris juga tertarik memecahkan misteri tersebut.
Untuk itu, mereka melakukan penelitian dengan menggabungkan penanggalan radiokarbon dengan metode baru dalam analisis arkeologi untuk mengungkap misteri siapa yang membangun Stonehenge.
Tim peneliti kemudian menganalisis tulang tengkorak dari 25 orang yang dikremasi dan dikubur di sekitar Stonehenge untuk mengetahui latar belakang mereka.
Pemilihan tulang tengkorak ini berdasarkan analisis fragmen kecil tulang manusia yang dikremasi pada fase awal situs tersebut, sekitar 3000 SM.
Hasil analisis itu menunjukkan bahwa setidaknya ada 10 hingga 25 orang yang tinggal di Stonehenge pada masa tersebut.
Artinya, tulang tengkorak ini ditemukan di Aubrey Hole, 56 lubang yang saling terhubung di sekitar lingkar dalam dan parit Stonehenge, itu kemungkinan adalah pembuat situs tersebut.
Dalam temuan terbaru, terlihat bahwa 10 dari 25 tulang tengkorak yang diteliti bukan berasal dari daerah sekitar Stonehenge.
Selain itu, mereka menemukan kandungan isotop strontium yang tinggi pada kesepuluh tulang tengkorak tersebut.
Kandungan ini menjadi temuan penting karena serupa dengan penduduk yang tinggal di sebelah barat Inggris, yaitu Wales.
Baca juga: Sisa Pesta Prasejarah Ungkap Alasan Stonehenge Dibangun
Sebenarnya, isotop strontium bukanlah dasar kuat untuk dijadikan acuan pembeda tempat-tempat dengan nilai yang serupa.
Meski begitu, kaitan ini menunjukkan Wales barat adalah asal yang paling mungkin dari orang-orang tersebut.
Dengan kata lain, ini menunjukkan bahwa penduduk Wales (tepatnya Pegunungan Preseli) tidak hanya berkontribusi dalam material Stonehenge saja. Mereka juga terlibat dalam proses pemindahan batuan besar (bluestone) tersebut pada masa Neolitik.
Selanjutnya, kemungkinan beberapa dari mereka yang meninggal dan dikubur di bawah Stonehenge seperti yang ditemukan saat ini.
Hasil penelitian ini memberikan wawasan baru tentang pentingnya hubungan antar-wilayah yang melibatkan perpindahan skala besar baik dari sisi material, orang-orang dalam konstruksinya, dan penggunaan Stonehenge pada 5000 tahun yang lalu.
“Penemuan terbaru ini (juga menunjukkan) bahwa beberapa informasi biologis yang bertahan dari suhu tinggi (1.000 derajat Celcius) yang diperoleh selama proses kremasi menawarkan kemungkinan untuk mempelajari asal-usul mereka yang dimakamkan di Stonehenge,” ungkap Snoek dikutip dari Science Daily , Jumat (03/08/2018).
John Pouncett, penulis utama penelitian ini, menambahkan bahwa kombinasi kuat dari isotop dan teknologi spasial memberikan wawasan baru tentang siapa yang membangun Stonehenge.
Beberapa ahli mengomentari temuan baru ini. Salah satunya adalah Dr Rick Schulting, profesor ilmiah dan arkeologi prasejarah.
Dr Schulting berekomentar, penelitian ini menyoroti betapa pentingnya peninjauan kembali temuan lama.
Ia juga menjelaskan, sisa-sisa kremasi di sekitar Stonehenge yang pertama kali ditemukan oleh Kolonel William Hawley itu memungkinkan bagi Mike Parker Pearson (yang mengeskavasi tulang belulang di Stonehenge) dan timnya menggali kembali untuk menerapkan berbagai metode analisis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H