"Dampak awal reformasi 1998 ditandai dengan liberalisasi politik melalui dibebaskannya tapol dan napol, peningkatan kebebasan pers dan pencabutan pelarangan buku, pembentukan parpol serta ormas, seperti serikat buruh. Demikian pula reformasi menjanjikan adanya suatu pemilu (1999) yang bebas dan adil. Namun, di bidang ekonomi, reformasi ini tidak dengan segera dapat meningkatkan nilai rupiah serta menurunkan harga sembako. Dari 27 provinsi, hanya Bali yang tidak mengalami rawan pangan dan 80 juta penduduk pada tahun 1998 akan berada di bawah garis kemiskinan."
Saya juga ingin kutip pengantar almarhum Profesor Selo Soemardjan, editor buku itu. Inilah yang menurut saya harus kita cermati sebagai keberhasilan sekaligus kegagalan era reformasi.
"Sayangnya, hilangnya Soeharto dari kedudukannya sebagai Presiden Mandataris MPR dan Panglima Tertinggi ABRI juga berakibat buyarnya masyarakat di luar golongan mahasiswa. Dalam kebebasan yang mendadak itu, para tokoh dan pemimpin masyarakat tidak dapat melanjutkan perjuangan reformasi dengan satu arah yang sama."
Misalnya, masih menurut Prof Selo, jargon masa itu "Berantas KKN" atau "Berantas Kolusi-Korupsi dan Nepotisme" dijabarkan oleh para senior politik menurut pandangan dan kepentingan mereka masing-masing. Euforia terjadi berlarut-larut, yang membuat akhirnya kita pun menjadi pelanggar pesan reformasi itu.
Kita tentunya tak ingin itu terus terjadi. Kita pasti ingin utang kita pada empat Pahlawan Reformasi terbayar lunas. Maka, dalam kapasitas kita masing-masing marilah kita lanjutkan pesan perjuangan mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI