Dalam negosiasi, wakil-wakil demonstran meminta marinir TNI AL melakukan pengosongan itu. Memang, selama kerusuhan panjang ini, marinir dianggap sebagai aparat paling simpatik. Mereka juga minta ada 3-4 orang marinir di dalam bus yang membawa mereka menuju kampus masing-masing. Puluhan bus kota dikerahkan.
Mayor Jenderal TNI Mar (Purn) Yussuf Solichien (68), dalam wawancara dengan saya tiga tahun lalu, tak bisa melupakan ketika ia diminta memimpin "operasi" pengosongan gedung itu.
Komandan Denjaka (Detasemen Jala Mengkara) pasukan elite antiteror TNI Angkatan Laut tahun 1986-1987 saat itu berpangkat Kolonel dan menjabat Asisten Operasi Korps Marinir.
"Saya ingat, baju dinas lapangan saya sampai basah berkeringat. Mereka bicara setengah berteriak minta kami melindungi mereka dengan sungguh-sungguh. Hati saya agak suram karena membayangkan keselamatan adik-adik mahasiswa yang berada dalam gedung itu, sampai ke kampusnya masing-masing, adalah tanggung jawab saya dan korps Marinir. Bahkan dalam operasi militer di Timor-Timur pun, saya tak pernah mengalami basah pakaian yang seperti itu. Bisa dibayangkan," kata Yussuf yang kini Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia itu.
Mau apa kita setelah 20 tahun reformasi?
Bagaimana sekarang? Menyesal kita harus menelan pil pahit ini. Dengan segala perjuangan, pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), ratusan wartawan dalam dan luar negeri yang ada di tempat kejadian, Tragedi Trisakti dan kerusuhan besar yang mengikutinya, kemudian disusul Tragedi Semanggi I dan II pada September dan November 1998, kesemuanya itu tak pernah terungkap.
Kalau boleh ditanggapi dengan syukur luar biasa adalah lahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan sebagai bentuk pengakuan negara atas terjadinya kekerasan berbasis gender dan etnis pada saat itu.
Saya setuju, kalau boleh disebut utang reformasi, inilah utang terbesar, yaitu mengungkap siapa penembak mahasiswa Trisakti dan Atma Jaya dalam Tragedi Semanggi serta mengungkap siapa di balik amuk massa yang memakan ratusan korban jiwa saat itu.
Kata Savic Ali di akhir acara itu boleh digaris-bawahi, "Reformasi terjadi karena kejahatan Orde Baru tak pernah selesai. Lalu, apa bedanya dengan tak berhasilnya diungkap Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi, dan lain-lain?"
Pada halaman 247, Dr Iwan Gardono Sudjatmiko menulis berdasarkan bacaannya atas majalah D&R 8 Agustus 1998.