Aturan-aturan yang mengkonsentrasi kekuasaan ini langsung dimusnahkan dalam “100 hari pertama” Reformasi.
Orde Baru mengonsentrasi kekuasaan dengan sistematis sehingga relatif tidak menimbulkan kegaduhan politik. Sedangkan hari ini, UU MD3 menjelma sebagai instrumen yang merangkum semua bentuk konsentrasi kekuasaan dalam satu tarikan.
Hal ini memunculkan ketegangan kekuasaan karena masing-masing pihak punya dasar perundangan. Akhirnya, kegaduhan politik dan penyalipan (overlapping) perundangan menjadi risiko terburuk UU MD3 pasca disahkan.
Baca juga : Umpatan Politisi PDI-P Arteria Dahlan dan Ironi Pengesahan UU MD3..
Demokrasi kita kembali ke belakang secara lebih vulgar. Faktanya, konten kontroversial UU MD3 bukan berdasar pemisahan kekuasaan. Justru, penerapannya adalah bentuk konsentrasi kekuasaan dengan melompati (bypass) aturan yang sudah ada.
Pertama, pemanggilan paksa dan penyanderaan melalui Polri sama artinya menempatkan materi politik sebagai materi hukum.
Kedua, pasal penghinaan bertentangan dengan UU Pers yang mengamanatkan kebebasan berpendapat.
Ketiga, hak imunitas bertentangan dengan KUHP yang berprinsip kesetaraan di hadapan hukum. Deretan “pasal kunci” UU MD3 ini akhirnya memunculkan kesan lembaga legislatif dan anggotanya “tidak pernah salah” (could do no wrong).
Bukan Trias
Kita perlu paham tentang pemisahan kekuasaan. Konsep trias politica modern berpedoman bahwa rakyat pemegang tampuk kekuasaan tertinggi. Sehingga legislatif berfungsi merumuskan amanat dengan undang-undang, eksekutif melaksanakan, dan yudikatif mengawal penafsiran amanat rakyat tersebut.
Pemisahan kekuasaan sebagai prinsip tata kelola negara demokratis bertumpu pada mekanisme saling-menyeimbangkan. Karena sebagai prinsip, akan selalu ada penyesuaian penerapannya.