Bertahun-tahun dia hanya hidup berdua dengan ayahnya, hingga menikah dan berkeluarga di kawasan Rotterndam, Belanda.
Selama itu pula Yvone masih menyimpan kebencian amat mendalam dengan orang-orang yang mengaku "pribumi" itu. Bahkan, mengingat atau mendengar nama Indonesia saja dia enggan.
(Baca juga : Pribumi dan Politik Populisme)
Kesedihan Yvone tak sampai di situ. Dia masih kerap menjumpai orang-orang yang mengolok-olok dirinya sebagai warga negara penjajah.
"Kalau ketemu orang Indonesia, masih sering ada yang mengatakan kalau kami (orang Belanda) itu penjajah. Menyiksa orang Indonesia 300 tahun. Saya sedih sekali," katanya sampil menepuk dada.
Meski menyimpan dendam, sejujurnya hati kecil Yvone sangat merindukan tanah kelahirannya itu, serta sosok ibu dan dua adiknya. Sampai suatu hari, sekitar tahun 1988, suami Yvone bertemu dengan keluarga asal Kampung Paten, Kota Magelang di sebuah bengkel mobil di Belanda.
Suaminya, Lucky, yang ternyata juga memilik darah Indonesia itu, berinisiatif untuk mempertemukan Yvone dengan keluarga tersebut. Yvone bahkan dibujuk suaminya agar mau bertemu mereka mengingat Yvone masih menyimpan kebencian.
"Saya dirayu, dibujuk, oleh suami saya, untuk bertemu mereka. Saya juga dipaksa supaya mau ke Indonesia (Kota Magelang) mencari rumah masa kecil saya, mama dan adik-adik, dengan pertolongan keluarga itu. Saya masih dendam saat itu, tapi akhirnya saya luluh...saya rindu rumah saya," ungkap Yvone.
Masih di tahun 1988, Yvone menguatkan diri terbang ke Indonesia menuju Kota Magelang. Dia dibantu keluarga asal Kampung Paten, mencari hingga dipertemukan dengan salah satu adiknya, Yulia Christine di Kampung Losmenan, Kota Magelang.
"Waktu bertemu (adik) serasa tidak percaya, dia ternyata masih ingat saya," ucapnya.