MAGELANG, KOMPAS.com - "Saya hanya keturunan Belanda. Tapi mengapa saya diusir dari tanah kelahiran saya Indonesia?"
Dadanya bergemuruh, hatinya pilu, emosinya memuncak ketika Yvone Sonja Ten Hoor-Heints mengingat peristiwa tujuh puluh enam tahun lalu. Ketika penjajah Belanda kalah dari Jepang pada masa perang kemerdekaan sekitar tahun 1942 silam.
Dia bersama orang-orang keturunan Eropa, dikumpulkan kepala desa di sebuah pendopo di Kampung Boton, Magelang Utara, Jawa Tengah.
Mereka dihadapkan pada dua pilihan. Mati atau ikut "dipulangkan" ke Eropa. Yvone dan orang-orang yang senasib itu pun terpaksa mengikuti kemauan orang-orang "pribumi", pergi ke tanah Eropa.Â
Yvone dan rombongan dibawa naik kereta ke Solo, lalu naik truk ke Semarang, sampai diangkut kapal sampai Belanda. Berbulan-bulan, Yvone menempuh perjalanan yang memilukan.
(Baca juga : Soal Pribumi, Politik Identitas, dan Nurani Para Politisi)
Ia terus bertanya-tanya tentang kesalahan apa yang telah diperbuat, hingga orang-orang yang dia anggap saudara dan teman, begitu tega memisahkan raganya dengan tanah kelahiran, serta ibu, dan adik-adiknya.
"Saya lahir dan besar di sini. Salah saya apa? saya cuma turunan Belanda. Mereka pisahkan saya dengan mama, adik-adik saya juga," ungkap Yvone yang tiba-tiba tercekak menahan air mata ketika Kompas.com menemuinya di Kampung Losmenan, Kota Magelang, belum lama ini.
Yvone, wanita yang kini berusia 82 tahun itu sampai di Belanda, tanah kelahiran sang Ayah, Karel Otto Heints.
Sejak saat itu, dia tidak bisa lagi bertemu ibu kandungnya, Murni, wanita asli Dusun Glagah, Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Bukan cuma ibu, dia tidak bisa menemui dua adik perempuannya, Joyce Sylvia dan Yulia Christine.
"Mama saya itu dulu penjual hasil bumi di Glagah. Karena mama dan papa berpisah, saya ikut oma (nenek) tinggal di kawasan Boton, Kota Magelang. Sementara dua adik sama mama tinggal di Glagah," jelas Yvone yang masih lancar berbahasa Indonesia itu.