Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal "Kotekan", Tradisi Selamatkan Bulan Saat Terjadi Gerhana

1 Februari 2018   09:12 Diperbarui: 1 Februari 2018   09:15 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah warga berkeliling kampung sambil menabuh bunyi-bunyian saat terjadi super blue blood moon atau gerhana matahari total perige di Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Rabu (31/1/2018) malam.

Sejumlah warga berkekeliling sambil menabuh bunyi -bunyian (kotekan) saat terjadi super blue blood moon atau gerhana bulan total perige di Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Rabu (31/1/2018) malam.Sejarah dan mitos gerhana

Sementara itu, Sejarawan Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono mengatakan, istilah gerhana berasal dari bahasa Jawa. Hal itu tertuang dalam Prasati Chandra Agrahana pada tahun 1843 Masehi.

 Prasasti itu memberikan pengetahuan tentang adanya gerhana bulan yang merupakan fenomena luar biasa.

Dwi menjelaskan, mitologi yang berkembang di tengah masyarakat Jawa kuno menyebutkan bahwa gerhana bulan terjadi karena ditelan oleh makhluk raksasa, yaitu Betara Kala atau Kala Rahu.

 "Masyarakat Jawa yang memiliki keyakinan dengan adanya raksasa, hilangnya matahari atau bulan dimitologikan ditelan oleh raksasa," katanya.

 Untuk mengusir raksasa tersebut, masyarakat Jawa mengejarnya dengan membuat keributan melalui bunyi-bunyian. Setiap peralatan yang menimbulkan bunyi dibawa sembari ditabuh.

 Ketika itu, masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa raksasa yang menelan bulan itu akan takut dengan suara tetabuhan tersebut.

 "Bunyi-bunyian itu dimaksudkan sebagai gambaran masyarakat berusaha menyelamatkan bulan supaya tidak ditelan seluruhnya oleh Kala Rahu," ujar Dwi.

 "Sehingga masyarakat beramai-ramai untuk mengejar Kala Rahu bersama-sama sembari membunyikan alat yang bertalu-talu, untuk menggambarkan suasan hiruk pikuk dunia yang mengejar Rahu supaya memuntahkan bulan atau matahari dan supaya dunia tidak dalam keadaan gelap," jelasnya.

Dwi menambahkan, setiap alat yang menimbulkan bunyi bisa ditabuh, termasuk lesung dan alat-alat lainnya.

 "Jadi sebenarnya alat yang digunakan untuk sumber bebunyian itu tidak harus alat-alat dapur. Peralatan apa pun yang bisa menjadi sumber bunyi. Waktu itu, alat yang mudah didapat adalah alat-alat dapur," ucapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun