Kemudian, konsumsi atau demand minyak olahan (untuk BBM dan sebagainya) di Indonesia mencapai 1,4 juta barel per hari. Sehingga gap antara produksi dan demand juga sudah sangat besar.
"Konsumsi di hilir melebihi produksi di hulu. Sehingga kalau harga minyak naik pun, keuntungan di hulu tidak akan bisa menutupi hilir," lanjut dia.
Baca juga : Pertamina EP Resmikan Proyek Integrasi Fasilitas Produksi Gas di Sumsel
Untuk bisnis hulu (eksplorasi dan eksploitasi) Pertamina, lanjut dia, saat ini memang masih menguntungkan. Sebab saat ini harga minyak mentah masih di level 50 dollar AS per barel sementara proses produksi di Pertamina EP bisa ditekan di level 16 dollar AS per barel. Sehingga masih memiliki margin.
"Namun jika harga minyak jatuh ke 16 dollar AS per barel, maka Pertamina EP sama saja kerja rodi," ujarnya.
"Pertanyaannya apakah kita sudah tidak kaya minyak lagi? Ya, buka saja data keberhasilan eksplorasi. Berapa eksplorasi migas yang sudah berhasil?" lanjutnya.
Syamsu bercerita, di indonesia ada banyak cekungan tapi bukan cekungan minyak, melainkan dalam bentuk sedimen. Dan untuk tahu apakah dalam cekungan tersebut ada minyak atau tidak harus dilakukan pengeboran.
Nah, di timur Indonesia ditemukan banyak cekungan tersebut. Banyak perusahaan migas melakukan pengeboran termasuk Pertamina. Nyatanya tidak ada minyaknya dan Pertamina juga habis ratusan juta dollar AS untuk eksplorasi tersebut.
"Apakah kita berani katakan kita kaya (minyak?). Beranikah kita taruh risiko kalau belum terbukti (punya minyak) kita bisa santai-santai?" pungkas Syamsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H