MUARA ENIM, KOMPAS.com - Pemerintah diminta untuk tidak gengsi mengakui jika Indonesia saat ini mengalami krisis energi. Bagaimana tidak, saat ini Indonesia menjadi net importer untuk minyak. Dan kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1990-an.
Hal ini dikatakan oleh Syamsu Alam, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero), usai acara peresmian Stasiun Pengumpul Gas Paku Gajah dan Kuang di Muara Enim, Sumatera Selatan, Rabu (6/12/2017).
Menurut dia, saat ini Indonesia sudah defisit minyak, sementara untuk gas masih belum. Indonesia, kata dia, memang kaya potensi energi misal energi surya, angin, air, panas bumi dan sebagainya. Tetapi tidak untuk minyak.
Minyak, lanjut dia, di dunia cadangannya mencapai 1.700 miliar barel. Sementara cadangan Indonesia hanya 3,7 juta barel atau hanya 0,2 persen dari cadangan dunia.
Jika pemerintah mengejar pertumbuhan 5 persen per tahun, maka selain minyak, gas akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan.
Sebab bauran energi dari energi baru dan terbarukan atau EBT juga masih sedikit. Otomatis, minyak dan gas (migas) masih akan jadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2050 mendatang.Â
Jika hal ini berlangsung terus, maka Syamsu Alam memperkirakan pada 2023 Indonesia akan jadi importir gas. Sebab pada tahun itu jumlah demand sudah melebihi produksinya.Â
Baca juga : Jangan Merasa Indonesia Kaya Migas...
"Pemerintah jangan tutupi kelemahan migas di Indonesia," kata dia.
Syamsu melanjutkan, untuk minyak, dari 800.000 barel per hari produksi minyak mentah Indonesia, yang menjadi milik Indonesia hanya 600.000 barel per hari saja.
Sementara kapasitas kilang Indonesia sebesar 1 juta barel per hari. Sehingga untuk memenuhi target kapasitas saja Indonesia harus impor 200.000 barel per hari.
Kemudian, konsumsi atau demand minyak olahan (untuk BBM dan sebagainya) di Indonesia mencapai 1,4 juta barel per hari. Sehingga gap antara produksi dan demand juga sudah sangat besar.
"Konsumsi di hilir melebihi produksi di hulu. Sehingga kalau harga minyak naik pun, keuntungan di hulu tidak akan bisa menutupi hilir," lanjut dia.
Baca juga : Pertamina EP Resmikan Proyek Integrasi Fasilitas Produksi Gas di Sumsel
Untuk bisnis hulu (eksplorasi dan eksploitasi) Pertamina, lanjut dia, saat ini memang masih menguntungkan. Sebab saat ini harga minyak mentah masih di level 50 dollar AS per barel sementara proses produksi di Pertamina EP bisa ditekan di level 16 dollar AS per barel. Sehingga masih memiliki margin.
"Namun jika harga minyak jatuh ke 16 dollar AS per barel, maka Pertamina EP sama saja kerja rodi," ujarnya.
"Pertanyaannya apakah kita sudah tidak kaya minyak lagi? Ya, buka saja data keberhasilan eksplorasi. Berapa eksplorasi migas yang sudah berhasil?" lanjutnya.
Syamsu bercerita, di indonesia ada banyak cekungan tapi bukan cekungan minyak, melainkan dalam bentuk sedimen. Dan untuk tahu apakah dalam cekungan tersebut ada minyak atau tidak harus dilakukan pengeboran.
Nah, di timur Indonesia ditemukan banyak cekungan tersebut. Banyak perusahaan migas melakukan pengeboran termasuk Pertamina. Nyatanya tidak ada minyaknya dan Pertamina juga habis ratusan juta dollar AS untuk eksplorasi tersebut.
"Apakah kita berani katakan kita kaya (minyak?). Beranikah kita taruh risiko kalau belum terbukti (punya minyak) kita bisa santai-santai?" pungkas Syamsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H