Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setya Novanto dan Minimnya Budaya Malu dalam Politik Indonesia

27 November 2017   08:28 Diperbarui: 27 November 2017   09:14 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto berada di mobil tahan KPK seusai menjalani pemeriksaan di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2017). Kedatangan Setya Novanto ke KPK untuk menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus korupsi proyek e-KTP.

Tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto berada di mobil tahan KPK seusai menjalani pemeriksaan di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2017). Kedatangan Setya Novanto ke KPK untuk menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus korupsi proyek e-KTP.JAKARTA, KOMPAS.com - Delapan hari sudah Setya Novanto memimpin lembaga perwakilan rakyat, DPR, dari balik jeruji Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Setya Novanto.

Novanto, yang ditahan KPK sejak pekan lalu, tak mau melepas atau dilepas dari jabatannya sebagai Ketua DPR.

Keteguhan sikapnya itu bahkan sejak ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP untuk kedua kalinya.

Desakan mundur dari berbagai kalangan tak menggoyahkannya. Bahkan, Partai Golkar, partai yang juga dipimpin Novanto, mendukung sikap itu.

Baca: Nurdin Halid Harap Novanto Legawa Lepas Jabatan Ketum Golkar

Untuk mempertahankan jabatannya, Novanto mengirimkan surat kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dan Partai Golkar. Isinya, memohon MKD menangguhkan rapat yang akan membahas nasibnya hingga proses gugatan praperadilan yang diajukannya selesai.

Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda AR seusai menyampaikan rilis Poltracking di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Minggu (26/11/2017).Tingkat kepercayaan publik terhadap parlemen semakin tergerus.

Setidaknya, hal itu tergambar dari hasil survei Poltracking Indonesia, Minggu (26/11/2017). DPR menempati urutan paling akhir dalam hal tingkat kepercayaan publik. Tercatat hanya 34 persen reponden yang puas terhadap kinerja DPR.

Minim budaya malu

 Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan, kasus yang menimpa satu orang atau beberapa politisi, akan berdampak terhadap kelembagaan DPR.

 Contohnya, kasus korupsi e-KTP yang menjerat Novanto.

 "Harusnya data ini memacu dan memicu parpol untuk melakukan pembenahan untuk memperbaiki," kata Hanta.

Baca juga: Novanto Masih Bertahan Jadi Ketum Golkar karena Jasanya, Apa Saja?

Pengamat Politik Universitas Nasional Alfan Alfian menilai, keengganan Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR menunjukkan minimnya budaya malu dalam politik Indonesia.

 Hal itu, kata dia, berbeda jauh dengan negara lain seperti Jepang.

Alfan mengatakan, meski Jepang dan Indonesia berkultur timur, budaya malu di Jepang lebih dijunjung tinggi ketimbang di Indonesia.

 Ia menyebutkan, kebanyakan politisi Jepang memilih mundur dari jabatannya setelah dituduh terlibat kasus korupsi. Salah satu contohnya, mantan Menteri Ekonomi Jepang, Akira Amari.

 Amari mengundurkan diri dari jabatannya pada Januari lalu setelah dituduh korupsi dan meminta maaf kepada masyarakat Jepang.

 Alfan menilai, perbedaan kontras tersebut terjadi karena minimnya penghargaan para politisi Indonesia terhadap etika politik.

Baca juga: Nurdin: Munaslub Golkar Tetap Digelar jika Novanto Menang Praperadilan

 Di Jepang, menurut dia, budaya politiknya lebih mengedepankan etika ketimbang formalitas hukum.

Oleh karena itu, meski belum berstatus tersangka, mereka merasa malu ketika diberitakan terlibat korupsi dan akhirnya memilih mundur dari jabatannya.

 Sementara, politisi di Indonesia, kata Alfan, lebih mengedepankan formalitas hukum ketimbang etika politik.

 "Jadi di Indonesia yang dikedepankan oleh para politisinya jika tersangkut kasus hukum ya legal formalnya, bukan etika atau moral di hadapan publik. Makanya budaya malunya tidak ada," kata Alfan saat dihubungi, Minggu (26/11/2017) malam.

 Ia menambahkan, jika para politisi di Indonesia memiliki budaya malu dan mengedepankan etika politik, maka mereka akan mundur ketika dikaitkan dalam sebuah kasus.

Para politisi seharusnya juga tak perlu mati-matian mempertahankan jabatan publik yang diembannya hingga menunggu proses hukum inkrah.

 Minimnya budaya malu dalam politik di Indonesia, lanjut Alfan, juga ditopang oleh masyarakat Indonesia yang permisif terhadap politisi berkasus.

 Ia mencontohkan, ada politisi atau pejabat publik yang berstatus tersangka tetapi masih diterima oleh masyarakat. Hal itu terlihat saat kunjungan kerja sang politisi. Tak ada penolakan dari masyarakat.

 Bahkan, para politisi ini masih diberi panggung untuk berpidato di hadapan masyarakat yang dikunjunginya.

 Sementara itu di Jepang, sambung Alfan, masyarakatnya sangat resisten terhadap pejabat yang tersangkut kasus hukum. Hal ini yang budaya malu dalam politik di Jepang bisa terbangun.

 "Jadi ini dari dua sisi. Dari pejabat dan politisinya begitu, dari masyarakatnya juga permisif sama politisi dan pejabat yang tersangkut kasus," kata Alfan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun