JAKARTA, KOMPAS.com - Ganti kepala daerah, proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bisa jadi berbeda. Begitu pun antara mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
 Basuki atau Ahok terakhir kali ikut dalam proses penyusunan APBD pada tahun 2015. Saat itu dia mempersiapkan APBD untuk tahun 2016. Ahok sendiri tidak ikut dalam penyusunan APBD tahun 2017, karena ketika itu Pemprov DKI Jakarta dipimpin oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono.
 Sementara Anies masuk ke Pemprov DKI Jakarta pada Oktober 2017. Anies berhak membahas APBD untuk tahun 2018.
Berikut ini sejumlah perbedaan dalam proses pembahasan APBD di era dua kepala daerah itu, artinya saat pembahasan APBD 2016 dan APBD 2018.
Posisi KUA-PPAS
 Sebelum menjadi Rancangan APBD, tahapan yang harus dilalui adalah pembahasan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS).
Tahun ini, Pemprov DKI sudah menyerahkan KUA-PPAS 2018 kepada DPRD DKI sejak bulan Juli 2017, atau sebelum Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno memimpin Ibu Kota. Ketika itu, nilai KUA-PPAS Rp 74 triliun.
Baca juga : Program Anies-Sandi Belum Masuk, DPRD Kembalikan KUA-PPAS 2018
 Namun, DPRD DKI Jakarta mengembalikan KUA-PPAS tersebut pada Oktober 2017. Hal ini karena KUA-PPAS belum menampung visi dan misi Anies-Sandi. Setelah dilakukan evaluasi kembali, KUA-PPAS diajukan lagi ke DPRD Rp 76 triliun.
 Hal ini berbeda dengan pembahasan KUA-PPAS 2016 pada tahun 2015.
Ketika itu, DPRD DKI tidak mengembalikan draft KUA-PPAS ke Pemprov DKI Jakarta. Namun, justru Ahok yang kembali menyisir anggaran dalam KUA-PPAS. Padahal draftnya sudah disampaikan ke DPRD DKI.
Sisir anggaran
 Untuk KUA-PPAS 2016, Ahok melaksanakan rapat 13 jam selama 2 pekan. Pelaksanaan rapat itu tidak tanggung-tanggung, dilakukan mulai pukul 09.00 hingga 24.00. Ahok hanya memberi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) waktu istirahat, pada pukul 12.00-13.00 dan 18.00-19.00. Artinya, Ahok menggelar rapat selama 13 jam setiap hari.
 Padahal, ketika itu draft KUA-PPAS sudah diserahkan ke DPRD DKI dan tinggal dibahas.
 "Saya pikir mereka kan tahu awalnya pakai e-musrenbang, e-planning, dan e-budgeting. Nah, bisa saya monitor siapa yang main."
 "Namun, waktu sodorin KUA-PPAS ke Banggar, drafnya itu pakai Excel. Saya tahu ada yang enggak beres. Begitu saya periksa, bener banyak pemborosan," kata Ahok saat itu.
 Hasilnya, Ahok memangkas Rp 6,4 triliun pada pos anggaran yang tak perlu selama 2 minggu melakukan penyisiran. Anggarannya dialihkan ke pos lain yang lebih bermanfaat. Ketika itu SKPD yang banyak dipangkas anggarannya adalah anggaran festival-festival Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
Baca juga : Ahok Gunakan E-Musrenbang Susun APBD 2016
Pada era Anies Baswedan, KUA-PPAS juga kembali direvisi. Namun sifat revisi itu untuk mengakomodir visi dan misi Anies-Sandi. Saat proses revisi, Anies memastikan program-programnya seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan rumah DP 0 bisa masuk rancangan anggaran.
Anies memaklumi beberapa programnya belum masuk karena KUA-PPAS yang lalu sudah dikirim ke DPRD DKI pada Mei, saat dirinya belum dilantik menjadi gubernur.
 "Sebagian karena itu, sebagian membutuhkan otoritas dari gubernur dan karena memang gubernur belum ganti. Setelah ganti, baru bisa kami laksanakan," kata Anies.
Rasionalisasi anggaran
 Saat KUA-PPAS 2016, terjadi penurunan nilai anggaran dari Rp 73 triliun menjadi Rp 62,5 triliun. Ahok sempat mempermasalahkan turunnya nilai KUA-PPAS.
 DPRD DKI dianggap ingin membuat dirinya gagal pada penyusunan anggaran 2016 agar gagal pula dalam Pilkada DKI 2017. Meski demikian, Ahok memilih untuk mengikuti ketentuan yang telah disepakati.
 "Enggak apa-apa memang segitu, ikuti saja. Daripada ribut lagi, kalau saya bikin pergub (peraturan gubernur) APBD lagi, ribut lagi dia orang," kata Ahok saat itu.
Baca juga : Diminta Ahok Isi Angket, Lurah-Camat Lesehan Coret Anggaran Siluman DPRD
Ketika itu, DPRD DKI ingin anggaran di Jakarta rasional. Artinya, target pendapatan tidak dibuat setinggi mungkin. Padahal belum tentu target pendapatan tersebut tercapai. Jika demikian, anggaran tidak dapat terserap dengan baik.
 Anggota DPRD DKI Prabowo Soenirman memberi contoh target pendapatan DKI yang tidak tercapai. Pada tahun 2014, target pendapatan DKI Rp 63 triliun, tetapi hanya tercapai Rp 43 triliun. Target yang terlalu tinggi itulah yang disebut tidak realistis.
 Hal ini berbeda dengan penyusunan KUA-PPAS di era Anies. Pada era Anies, rasionalisasi anggaran tidak lagi digaungkan. Nilai KUA-PPAS justru bertambah dari Rp 76 triliun menjadi Rp 77,1 triliun. Bahkan, target pendapatannya meningkat drastis hingga Rp 2 triliun.
Baca juga : Target Pendapatan Pajak Meningkat Rp 2 Triliun, DKI Akan Naikkan Pajak Parkir hingga Penerangan Jalan
Target penerimaan pajak dalam KUA-PPAS Rp 36,125 triliun, sedangkan target penerimaan pajak dalam RAPBD 2018 Rp 38,125 triliun.
 Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta Edi Sumantri menjelaskan, ada 4 komponen pajak daerah yang akan ditingkatkan untuk mencapai target tersebut, yakni tarif pajak penerangan jalan, tarif pajak parkir, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H