Saat KUA-PPAS 2016, terjadi penurunan nilai anggaran dari Rp 73 triliun menjadi Rp 62,5 triliun. Ahok sempat mempermasalahkan turunnya nilai KUA-PPAS.
 DPRD DKI dianggap ingin membuat dirinya gagal pada penyusunan anggaran 2016 agar gagal pula dalam Pilkada DKI 2017. Meski demikian, Ahok memilih untuk mengikuti ketentuan yang telah disepakati.
 "Enggak apa-apa memang segitu, ikuti saja. Daripada ribut lagi, kalau saya bikin pergub (peraturan gubernur) APBD lagi, ribut lagi dia orang," kata Ahok saat itu.
Baca juga : Diminta Ahok Isi Angket, Lurah-Camat Lesehan Coret Anggaran Siluman DPRD
Ketika itu, DPRD DKI ingin anggaran di Jakarta rasional. Artinya, target pendapatan tidak dibuat setinggi mungkin. Padahal belum tentu target pendapatan tersebut tercapai. Jika demikian, anggaran tidak dapat terserap dengan baik.
 Anggota DPRD DKI Prabowo Soenirman memberi contoh target pendapatan DKI yang tidak tercapai. Pada tahun 2014, target pendapatan DKI Rp 63 triliun, tetapi hanya tercapai Rp 43 triliun. Target yang terlalu tinggi itulah yang disebut tidak realistis.
 Hal ini berbeda dengan penyusunan KUA-PPAS di era Anies. Pada era Anies, rasionalisasi anggaran tidak lagi digaungkan. Nilai KUA-PPAS justru bertambah dari Rp 76 triliun menjadi Rp 77,1 triliun. Bahkan, target pendapatannya meningkat drastis hingga Rp 2 triliun.
Baca juga : Target Pendapatan Pajak Meningkat Rp 2 Triliun, DKI Akan Naikkan Pajak Parkir hingga Penerangan Jalan
Target penerimaan pajak dalam KUA-PPAS Rp 36,125 triliun, sedangkan target penerimaan pajak dalam RAPBD 2018 Rp 38,125 triliun.
 Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta Edi Sumantri menjelaskan, ada 4 komponen pajak daerah yang akan ditingkatkan untuk mencapai target tersebut, yakni tarif pajak penerangan jalan, tarif pajak parkir, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB).