Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hanya Setya Novanto yang Bisa...

8 November 2017   11:14 Diperbarui: 8 November 2017   15:48 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR RI, Damayanti di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/10/2017).

Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahapsari bahkan sempat datang ke gedung KPK September lalu untuk memberikan langsung surat serupa.

"Surat tersebut berisi permintaan agar KPK menunda proses penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP," kata Hani.

Dalam surat tersebut, pimpinan DPR meminta KPK mengedepankan azas praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum praperadilan yang sedang berlangsung.

"Saudara Setya Novanto memohon kepada pimpinan DPR untuk menyampaikan surat kepada KPK tentang langkah praperadilan tersebut, dengan penundaan pemeriksaan dan pemanggilan saudara Setya Novanto," kata Hani Tahapsari.

Blunder

Namun, setelah surat Setjen DPR yang menjelaskan ketidakhadiran Novanto itu dibuka KPK, polemik pun berkembang.

Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut langkah Novanto sekaligus Setjen DPR sebagai blundee. Dia bahkan menyebutnya sebagai sajian yang mengundang tawa lantaran MK sejak awal tak pernah menggugurkan ketentuan pengecualian terhadap pengusutan kasus pidana khusus seperti korupsi.

Refly menduga staf di DPR tidak cermat membaca isi UU MD3 sehingga justru menjadi blunder bagj Novanto.

Tak hanya Refly, mantan hakim MK Harjonon juga menguatkan argumentasi Refly.

MK menyatakan bahwa Pasal 245 Ayat 1 UU MD3 itu tidak berlaku sepanjang dimaknai pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.

Namun, kata Harjono, MK saat itu tidak mengubah Pasal 245 Ayat 3 yang menyatakan ketentuan Ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR diduga melakukan tindak pidana khusus termasuk korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun