Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hanya Setya Novanto yang Bisa...

8 November 2017   11:14 Diperbarui: 8 November 2017   15:48 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua DPR Setya Novanto (tengah) meninggalkan ruang persidangan usai bersaksi di persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11/2017). Hari ini, Novanto hadir menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong

Ketua DPR Setya Novanto (tengah) meninggalkan ruang persidangan usai bersaksi di persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11/2017). Hari ini, Novanto hadir menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi NarogongJAKARTA, KOMPAS.com -"Maka dengan tidak mengurangi ketentuan hukum yang ada, pemanggilan terhadap Setya Novanto dalam jabatan sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI dapat dipenuhi syarat persetujuan tertulis dari Presiden RI terlebih dahulu sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku termasuk penyidik KPK."

 Kalimat tersebut tertulis dalam surat Sekretariat Jenderal DPR yang dikirim ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Novanto sedianya dijadwalkan untuk diperiksa, Senin (6/11/2017) sebagai saksi tersangka proyek pengadaan e-KTP Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.

 Dalam surat yang sama, diuraikan pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang mengatur, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".

Ditegaskan pula, berdasarkan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015 maka wajib hukumnya setiap penyidik yang akan memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu.

Baca juga : Pengacara: Ada Trik Menjerat Setya Novanto dan Keluarga Terlibat Korupsi E-KTP

Selain menjadi perdebatan hukum, alasan itu juga banyak dikritik lantaran hanya Novanto anggota DPR yang menggunakan alasan tersebut untuk mangkir pada pemeriksaan, khususnya terkait kasus e-KTP.

Beberapa anggota dewan sempat tak menghadiri panggilan pemeriksaan. Beberapa di antaranya menyampaikan sejumlah alasan, misalnya sakit. Ada pula anggota yang tak memenuhi panggilan tanpa alasan namun hadir pada pemanggilan berikutnya.

Namun, di antara mereka tak ada yang tak ada yang beralasan sama seperti Novanto, yakni meminta KPK mendapatkan izin kepada presiden terlebih dahulu.

Misalnya, Ketua Pansus Hak Angket KPK sekaligus mantan Anggota Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa yang juga beberapa kali dipanggil KPK terkait kasus e-KTP.

Baca juga : Benarkah KPK Butuh Izin Presiden untuk Periksa Setya Novanto?

Ia pernah tak menghadiri panggilan KPK karena pansus KPK tengah berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Namun, saat itu Agun telah berkirim surat kepada KPK, menyampaikan alasan ketidakhadirannya dan meminta penjadwalan ulang. Ia kemudian datang pada panggilan berikutnya.

Adapun alasan Novanto tersebut, baru pertama kali digunakan. Padahal, ia sudah beberapa kali dipanggil oleh KPK.

 Mengapa alasan serupa tak digunakan Novanto sejak panggilan sebelumnya?

"Banyak teman-teman tanya saya. 'Loh Pak, kenapa enggak dari dulu-dulu kok enggak pakai gitu, Pak?' Loh sekarang saya tanya, dulu itu pengacaranya sopo?" kata Kuasa Hukum Novanto, Fredrich Yunadi saat ditemui di kantornya, Gandaria, Jakarta Selatan, Selasa (7/11/2017).

"Begitu kan, siapa pengacaranya waktu itu? Bukan saya kan? Ya sudah jawabannya cukup itu dong," ujar dia.

Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR RI, Damayanti di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/10/2017).
Sekretariat Jenderal DPR yang setia

 Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR, Damayanti mengaku hanya meneruskan surat tersebut secara administratif. Surat tersebut dibuat berdasarkan instruksi Novanto yang disampaikan melalui Kepala Biro Pimpinan DPR kepada Damayanti.

Damayanti mengatakan dirinya dihubungi dan diberitahu bahwa ada surat panggilan dari KPK untuk Novanto. Namun, di sisi lain ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pemanggilan Novanto perlu izin presiden.

 Ia meyakini tim biro pimpinan sudah memiliki kajian hukum tentang itu sehingga tak akan asal-asalan dalam membuat surat.

"Kami buat suratnya. Saya kirimin, sudah, enggak ada masalah. Itu saja," kata Damayanti, Senin.

Baca juga : Kirim Surat Ke KPK, Plt Sekjen DPR Bantah Lindungi Novanto

Novanto tak hanya sekali seolah mendapat dukungan dari Sekretariat Jenderal.

Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahapsari bahkan sempat datang ke gedung KPK September lalu untuk memberikan langsung surat serupa.

"Surat tersebut berisi permintaan agar KPK menunda proses penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP," kata Hani.

Dalam surat tersebut, pimpinan DPR meminta KPK mengedepankan azas praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum praperadilan yang sedang berlangsung.

"Saudara Setya Novanto memohon kepada pimpinan DPR untuk menyampaikan surat kepada KPK tentang langkah praperadilan tersebut, dengan penundaan pemeriksaan dan pemanggilan saudara Setya Novanto," kata Hani Tahapsari.

Blunder

Namun, setelah surat Setjen DPR yang menjelaskan ketidakhadiran Novanto itu dibuka KPK, polemik pun berkembang.

Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut langkah Novanto sekaligus Setjen DPR sebagai blundee. Dia bahkan menyebutnya sebagai sajian yang mengundang tawa lantaran MK sejak awal tak pernah menggugurkan ketentuan pengecualian terhadap pengusutan kasus pidana khusus seperti korupsi.

Refly menduga staf di DPR tidak cermat membaca isi UU MD3 sehingga justru menjadi blunder bagj Novanto.

Tak hanya Refly, mantan hakim MK Harjonon juga menguatkan argumentasi Refly.

MK menyatakan bahwa Pasal 245 Ayat 1 UU MD3 itu tidak berlaku sepanjang dimaknai pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.

Namun, kata Harjono, MK saat itu tidak mengubah Pasal 245 Ayat 3 yang menyatakan ketentuan Ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR diduga melakukan tindak pidana khusus termasuk korupsi.

Oleh karena itu, KPK tetap berwenang memeriksa Novanto meski tanpa izin Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun