Tapi, ketika saya bilang, "Saya datang ke sini kan saya juga anak korban," langsung mereka keluar (rumah) semua, (suguhan minuman) teh keluar, tadinya mereka enggak mau keluar.
Terus, saya lihat, anak-anak itu tidak berbuat apa-apa. Ada Karang Taruna, enggak punya apa-apa. Lalu, saya belikan organ (keyboard) dan mereka mulai ngamen (main musik dan menyanyi), punya uang, terus cerita sama saya.
Itu membuat saya senang. Itu yang harus dibuat secara nasional, bahwa rekonsiliasi bisa terwujud antarmanusia, antarindividu.
Kami siap (untuk) rekonsiliasi), tapi tidak dengan campur tangan pemerintah. Kalau ada campur tangan pemeritah, malah ora dadi (tak jadi).
Saya bisa menerima itu. Entah orang lain berpendapat seperti apa. Kalau saya, bisa.
Mereka mengalami lebih parah. Jadi, waktu kami (Amelia dengan salah seorang anak tokoh Dewan Revolusi Indonesia) bertemu untuk pertama kali, lain ya sorot matanya. Terus dia bilang, "Saya kepingin ketemu sama Mbak Amelia," sayadengerin ceritanya.
Saya pikir, kasihan juga. Tapi, saya mengalami (sebagai anak yang ayahnya menjadi korban). Tapi, bapak kamu (tokoh Dewan Revolusi Indonesia itu) yang melakukan. Itulah yang terjadi.
Dan, dia menangis, bisa bercerita kepada saya. Waktu ayahnya tertangkap, dua jam sebelum ditembak mati, boleh ketemu keluarganya.
Terus, dikubur di sebuah tempat, di hutan, hanya dikasih kotak semen (makamnya disemen berbentuk segi empat) dan tanpa nama. Jadi, anak-anaknya terus mencari, kira-kira di sebelah mana (makam ayah mereka). Apa pun, darah itu kan darah orangtuanya ya.
Di situ saya merasa bahwa sebagai anak pahlawan, orang di mana pun, parpol, menyambut saya seperti kedatangan Pak Yani gitu. (Padahal) Saya cuma anaknya. Tapi, seperti itulah keadaan kita.
Dari pihak mereka mengatakan, tidak perlu ada intervensi. "Biarkan kami menyelesaikan sendiri." Kan mereka sudah tua semua.