Sekarang Anda sudah sembuh dari trauma. Menurut Anda, para keturunan dari "pihak yang berseberangan" juga mengalami trauma?
Keluarga saya delapan bersaudara. Adik saya, Mas Untung, Mas Edi, mungkin belum bisa menerima (Achmad Yani menjadi korban gugur dalam peristiwa G30S PKI).
Saya terbawa situasi di mana tiba-tiba ada teman-teman datangngajakin saya ketemu anak (Brigadir Jenderal) Soepardjo (Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia), anak (DN) Aidit, anak (Marsekal Madya) Omar Dhani, yang dalam Gerakan 30 September ada di seberang sana. Kami di sebelah sini.
In a way, dalam hal tertentu, saya diuntungkan. Kan saya anak pahlawan revolusi.
(Di lain pihak) mereka mengatakan, "Kami (anak dari orangtua yang anggota PKI) anak pengkhianat, (selalu disebut), 'Kamu PKI, kamu PKI'."
Mereka menceritakan kepada saya bagaimana sulitnya menjadi anak yang orangtuanya pengkhianat. Di situ saya mulai bisa mengerti, karena mereka (anak pelaku) bukan pelaku.
Lalu saya pergi ke Pulau Buru (Maluku), saya melihat seberapa kehidupan di sana. Pulau Buru sudah menjadi lumbung padi di Maluku, kan orang Jawa banyak dipindah ke sana.
Di Pulau Buru sebenarnya dulu memang sulit. Siapa sih yang enggak sulit? Semua mengalami kesulitan. Bayangkan, inflasi sampai 600 persen. Kita miskin dan miskin. Tapi, kita miskin lagi kemudian, tahun 1998.
Jadi, saya ingin bangsa ini belajar dari semua kejadian yang pernah kita alami. Kalau mereka (generasi sesudah itu) tidak mengalami, kita tulis, supaya mereka tahu dalam sejarah. Di situ saya mulai mengenal mereka.
Memang, sebetulnya, kalau bertemu (dengan para keturunan dari pihak yang berseberangan), ketawa-ketawa ya. Tapi, kalau (ada dari) mereka bilang, 'Lubang Buaya itu enggak ada, sejarah itu bohong semua', itu kami marah. Jadi, kapan kita mau damai?
Tapi, kalau yang di Pulau Buru, (mula-mula) mereka takut melihat saya. Saya datang, (mereka) takut. Orangtua mereka juga melihat.