Meski menerapkan keamanan ketat dalam hal privasi, bergabung dengan Telegram relatif gampang. Pengguna cukup menyediakan nomor ponsel untuk menerima kode akses, yang kemudian dipakai untuk membuka akun.
Pakar kontra terorisme, Ahmet S. Yayla dari George Mason University menyebutkan bahwa teroris biasanya memakai satu nomor telepon untuk aktivasi, tapi justru memakai nomor lain ketika menggunakan Telegram
“Kartu SIM yang Anda pakai untuk membuka akun Telegram tak harus sama dengan kartu SIM yang Anda pakai di telepon untuk mengakses aplikasi,” ujar Yayla.
Dengan demikian, bukan hanya teroris jadi lebih sulit dilacak oleh pihak kepolisian, tetapi mereka juga bisa dengan mudah membuat akun baru, begitu yang lama terendus pihak berwajib.
Selain gampang masuk, teroris pun sulit dikeluarkan dari Telegram.
Menurut Todd Helmus, pakar terorisme dan media sosial dari RAND Corporation, dua tahun lalu, platform medsos favorit ISIS bukanlah Telegram, melainkan Twitter. Namun kemudian Twitter bersama platform mainstream lain seperti Facebook dan Instagram berupaya memburu dan menutup akun-akun teroris di jejaring masing-masing.
Twitter misalnya, pada Maret lalu mengumumkan telah menutup 636.248 akun yang terindikasi mempromosikan kegiatan teror sejak 2015. Teroris pun menjadi lebih sulit bergerilya di jejaring-jejaring sosial itu.
Lalu mereka beralih ke Telegram. Sejak 2015, sudah terjadi eksodus teroris yang berbondong-bondong pindah ke layanan tersebut lantaran tergoda dengan privasi tingkat tinggi yang ditawarkan.
“Kami melihat tren yang jelas dari pertumbuhan angka pemakaian Telegram oleh hampir semua grup teror di seluruh dunia,” ujar Gabriel Weimann, prosesor dari University of Haifa yang mengamati ekstrimisme online.
Dihinggapi teroris, Telegram sendiri bukannya tinggal diam. Pengelola aplikasi pesan instan ini menutup 78 Channel yang terkait ISIS pada November 2015, menyusul serangan teror di Paris, Perancis. Lalu ada ratusan kanal lain yang diblokir setelahnya.