Sejak saat itu Sardjono mencari nafkah lewat kesenian. Awalnya, pria kelahiran Gunungkidul ini menjual hasil karyanya seperti lukisan wayang, wayang beber, wayang kulit, dan patung dari tokoh pewayangan sebelum menjadi dalang wayang kulit.
"Sejak usia lima tahun saya sudah kenal dengan kesenian tentang wayang karena di tempat tinggal saya dulu banyak pelaku seni. Selain itu ayah saya dulu juga penggemar wayang kulit," kata Sardjono.
Baca: Tak Jadi Makan Siang, Jokowi dan Obama Hanya "Ngobrol" Informal
Kesenangannya kepada wayang itu pula yang membuatnya bisa membedakan tokoh wayang kulit ketika tampil di atas panggung.
Baru pada awal 2014, ia memutuskan untuk menjadi dalang. Ia menimba ilmu di sekolah dalang di Keraton Yogyakarta selama tiga tahun.
Kala itu ia menimba ilmu bersama belasan calon dalang dengan kondisi fisik normal. Namun ia bisa lulus dengan memuaskan tanpa kendala berarti.
Pria lulusan pendidikan luar biasa IKIP Yogyakarta ( kini UNY) itu menggunakan metode anak berkebutuhan khusus untuk bisa menjadi dalang.
Hal itu dilakukannya agar penampilannya tetap sempurna di depan penonton. Sebab penampilannya di atas panggung harus tak berbeda seperti dalang wayang kulit pada umumnya.
Dalam pertunjukan wayang kulit, tidak ada ungkapan kasihan atau dimaklumi lantaran dalangnya berkebutuhan khusus.
"Untuk membedakan bagian depan dan belakang wayang misalnya, saya tempel semacam tanda di pegangan wayang kulit. Jika jempol saya memegang tanda itu, berarti wayang kulit menghadap ke depan," kata Sardjono.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H