Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Opini BPK yang jadi Lahan "Sogok Menyogok"

30 Mei 2017   08:00 Diperbarui: 30 Mei 2017   14:33 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Auditor BPK Ali Sadli (ALS) yang jadi tersangka kasus dugaan penerimaan suap pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) di laporan keuangan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) tahun anggaran 2016 keluar dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sabtu (27/5/2017).JAKARTA, KOMPAS.com - Seketika, mata publik tertuju tajam kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Profesionalisme para auditor keuangan di dalamnya disorot dan dipertanyakan. Gara-garanya tak lain lantaran terbongkarnya kasus suap pejabat BPK atas pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) kepada Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).

(Baca: Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap Pejabat BPK Terkait Predikat WTP)

Seketika itu pula, publik bertanya-tanya, apa dan seberapa penting opini BPK? Mengapa opini itu bisa dilihat jadi lahan korupsi oleh oknum-oknum tertentu?

Sebenarnya, pemberian opini oleh BPK terhadap laporan keuangan pemerintah sudah diatur jelas dalam Undang-undang No.15 Tahun 2006. Hal itu adalah bagian dari tugas dan wewenang badan yang didirikan pada 1 Januari 1946 itu.

1. Apa itu Opini BPK?

Opini BPK sendiri merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah atau lembaga lain yang mengelola keuangan negara.

Ada 4 jenis opini yang biasa diberikan pemeriksa terhadap laporan keuangan yakni opini wajar tanpa pengecualian (WTP), opini wajar dengan pengecualian (WDP) opini tidak wajar, dan pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer).

Pertama WTP. Opini ini menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material.

Adapun opini WDP menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material, kecuali untuk beberapa hal tertentu.

Sementara itu, opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material.

Terakhir, opini Disclaimer menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan. Pemeriksa tidak yakin laporan keuangan itu bebas dari salah saji material.

2. Bagimana kriteria pemberian opini BPK?

Pemberian opini atas laporan keuangan dari BPK tentu bukan tanpa kriteria penilaian. Ada beberapa kriteria yang harus dipegang pemeriksa keuangan.

Kriteria itu meliputi kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.

Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/5/2017) mengakui pihaknya belum bisa memeriksa struktur pembiayaan di dalam laporan keuangan secara mendalam.

"Ada satu hal ke depan yang harus kami lihat, proses penyajian laporan dalam bentuk akun-akun laporan keuangan apakah dilaksanakan secara lelang yang baik dan benar dan lalu struktur cost apakah betul atau tidak," ujarnya.

3. Kenapa opini BPK bisa jadi lahan korupsi?

Sejak jauh-jauh hari, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) sudah mendengar adanya kabar bahwa opini WTP diperjualbelikan oleh oknum di BPK.

Deputi Sekjen Fitra Apung Widadi menilai terbongkarnya kasus suap oknum pejabat BPK baru-baru ini adalah tamparan bagi pemerintahan Joko Widodo yang dianggap terlalu membanggakan raihan WTP.

Selama ini opini WTP kerap dipergunakan untuk pencitraan. Hal ini pula yang membuat kementerian, lembaga negara, hingga pemerintah daerah berlomba-lomba ingin meraih opini WTP atas laporan keuangannya.

(Baca: Fitra: Jangan Jadikan WTP Bahan Pencitraan Pemerintah)

Sayangnya, tutur Apung, predikat WTP tidak menjamin pemerintahan bersih dalam tata kelola anggaran. Buktinya, banyak kasus korupsi Kepala Daerah yang daerahnya mendapatkan opini WTP dari BPK.

Di sisi lain, "tekanan" dari pimpinan lembaga, kementerian, bahkan Presiden bisa jadi faktor pendorong "kongkalikong" opini WTP. Apalagi pemerintah menyatakan akan merumuskan sanksi kepada kementerian atau lembaga yang tidak meraih WTP.

(Baca: Laporan Keuangan Kementerian Tidak WTP, Siap-siap Kena Sanksi!)

Sementara itu BPK mengakui sistem pengawasan pegawainya masih banyak kekurangan. Perbaikan dalan sistem pengawasan pun jadi hal utama yang fokus perhatian BPK.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sejak 2005 hingga 27 Mei 2017, sedikitnya terdapat 6 kasus suap yang melibatkan 23 auditor, pejabat atau staf BPK.

Kasusnya terdiri dari 3 kasus suap untuk mendapatkan opini WTP, 1 kasus suap untuk mendapatkan opini WDP, 1 kasus suap untuk mengubah hasil temuan BPK, dan 1 kasus suap untuk membantu kelancaran proses audit BPK. Nilai suap terkecil adalah Rp 80 juta per orang.

Sementara itu, nilai suap yang terbesar Rp 1,6 miliar per orang. Dari 23 nama yang diduga terlibat, lima orang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Adapun sebanyak 14 orang hanya dapat sanksi internal BPK, dan empat di antaranya masih dalam proses pemeriksaan KPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun