Sayangnya, tutur Apung, predikat WTP tidak menjamin pemerintahan bersih dalam tata kelola anggaran. Buktinya, banyak kasus korupsi Kepala Daerah yang daerahnya mendapatkan opini WTP dari BPK.
Di sisi lain, "tekanan" dari pimpinan lembaga, kementerian, bahkan Presiden bisa jadi faktor pendorong "kongkalikong" opini WTP. Apalagi pemerintah menyatakan akan merumuskan sanksi kepada kementerian atau lembaga yang tidak meraih WTP.
(Baca: Laporan Keuangan Kementerian Tidak WTP, Siap-siap Kena Sanksi!)
Sementara itu BPK mengakui sistem pengawasan pegawainya masih banyak kekurangan. Perbaikan dalan sistem pengawasan pun jadi hal utama yang fokus perhatian BPK.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sejak 2005 hingga 27 Mei 2017, sedikitnya terdapat 6 kasus suap yang melibatkan 23 auditor, pejabat atau staf BPK.
Kasusnya terdiri dari 3 kasus suap untuk mendapatkan opini WTP, 1 kasus suap untuk mendapatkan opini WDP, 1 kasus suap untuk mengubah hasil temuan BPK, dan 1 kasus suap untuk membantu kelancaran proses audit BPK. Nilai suap terkecil adalah Rp 80 juta per orang.
Sementara itu, nilai suap yang terbesar Rp 1,6 miliar per orang. Dari 23 nama yang diduga terlibat, lima orang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Adapun sebanyak 14 orang hanya dapat sanksi internal BPK, dan empat di antaranya masih dalam proses pemeriksaan KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H