Di sisi lain, Heni yang selalu mendapat peringkat pertama di sekolahnya mendapatkan beasiswa dan memantapkan diri menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Namun, prestasi ini pun banyak juga yang mencibir.
"Ketika aku melanjutkan SMP, tetangga itu pada ngomong, 'ya ampun itu anak enggak tahu diri banget. Buat makan saja susah, malah nambah kesusahan dengan sekolah'. Mereka bilang begitu, karena tahunya sekolah itu hanya susahnya saja," ucap wanita kelahiran 1987 itu.
"Memang ketika kita investasi di pendidikan itu seperti menanam. Kita tidak bisa memanennya langsung pada hari yang sama. Butuh proses. One day, kita akan memanennya," ucapnya.
Sama seperti ketika SD, Heni juga pulang-pergi ke SMP-nya dengan berjalan kaki. Malah jarak tempuhnya lebih jauh lagi, hingga memakan waktu empat jam perjalanan.
Lepas bangku menengah pertama, Heni masih bersemangat untuk sekolah. Pilihannya jatuh pada sebuah sekolah menengah kejuruan, dengan jurusan akuntansi.
Karena letaknya yang berada di kota, Heni terpaksa harus "ngekos". Biaya kostan ia cukupi dari uang beasiswa dan kiriman ibundanya.
"Dalam satu bulan, aku hanya dijatah untuk bantu bayar kostan Rp 25.000. Itu tahun 2002-2005. Kalau misalkan aku pulang ke rumah, aku dibekali beras," ucapnya.
Selain itu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari Heni menerina pekerjaan serabutan. Apapun pekerjaan halal ia kerjakan, seperti menerima jasa pengetikan teman-temannya hingga berjualan jilbab.
Kebetulan kostan Heni dekat dengan rental komputer.
"Aku bergaul sama teman-teman (biasa) saja (tidak minder). Enggak merasa malu, karena aku enggak punya pilihan untuk malu. Aku enggak punya pilihan untuk diam. Karena kalau aku diam aja, enggak ada yang bantu aku," katanya.