Koleksi Soekarno pribadi, yang dihibahkan pada negara, lebih dari separuh di antara 3.000-an karya seni yang dikelola negara di enam Istana Presiden, yakni Istana Merdeka, Istana Negara (Jakarta), Istana Cipanas, Istana Bogor, Istana Yogyakarta, serta Istana Tampak Siring (Bali).
Bercermin pada figurnya dan warisan-warisannya, tokoh seni sekaligus patron seni sekaliber Soekarno-lah yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia.
Sementara, terutama para pemimpin dan tokoh-tokoh kita saat ini bersibuk “meraba-raba dalam gelap”, mengindentifikasi apa yang sesungguhnya yang diperlukan Indonesia dalam suasana muram menghadapi adanya ancaman terhadap kebinekaan kultural kita.
Alih-alih mengimplementasikan strategi kebudayaan dengan program-program yang kuat, nyatanya lebih banyak mereka menggunakan para “selebritas seni” demi kepentingan-kepentingan pragmatisme politik jangka pendek.
Layak kita menoleh, mereguk rasa kehausan spiritual akan makna menjadi manusia dan imaji keindonesiaan dengan sebuah komitmen bersama, sebagai sebuang bangsa, seperti apa yang pernah diujarkan Chairil Anwar dengan sajak Persetujuan dengan Bung Karno pada 1948:
“Bung Karno!
Kau dan Aku Satu Zat Satu Urat
Di Zatmu di Zatku Kapal-Kapal Kita Berlayar
Di Uratmu di Uratku Kapal-Kapal Kita Bertolak dan Berlabuh”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H