Paling mencolok dari sikap "aneh" Ranieri adalah ketika memecat Ken Way, psikolog olahraga tim, pada awal musim 2016-2017. Dia dianggap tidak dibutuhkan lagi oleh Ranieri.
Padahal, Way punya peran penting dalam keberhasilan Leicester menjadi juara Premier League. Statusnya sebagai performance psychologist tak hanya membantu dari sisi teknis, pun sebagai penjaga motivasi bertanding Jamie Vardy dkk.
"Ada dua psikolog di klub ini, saya dan Claudio. Ucapan dia kepada tim sama seperti yang diceritakannya kepada media," tutur Way kepada BBC, Mei 2016.
"Intinya, dia meminta kami fokus pada proses, bukan pada hasil akhir. Kata-kata yang dia gunakan telah membuat saya terkagum-kagum," ucapnya lagi.
Akan tetapi, kekaguman sang asisten tak mendapat respons positif dari Ranieri. Dia tampaknya tak mau perannya sebagai motivator tim tersubstitusi oleh kehadiran Kay.
Ranieri lantas mengeliminiasi Way, seperti halnya Macbeth membunuh Banquo dalam kisah Macbeth karya Shakespeare.
Tanpa Way, para pemain Leicester seolah hilang kendali. Kartu merah kepada Jamie Vardy atau protes keras saat wasit menghadiahkan penalti pada laga kontra Stoke City, Desember lalu, bisa jadi merupakan efek dari kehilangan Way.Â
"To be thus is nothing. But to be safely thus. Our fears in Banquo. Stick deep; and in his royalty of nature. Reigns that which would be feared." - MacbethÂ
Hal paling nyata dari perubahan Ranieri adalah putusannya dalam merotasi pemain. Padahal, saat menjadi juara, Leicester menjadi tim yang konsisten karena tak pernah melakukan banyak perubahan.
Situasi berbeda terjadi pada musim 2016-2017. Ranieri seolah kembali ke sifat aslinya. Label The Tinkerman sebagai orang yang suka bergonta-ganti taktik, seperti tertulis di kamus populer Inggris, muncul lagi saat Leicester berupaya mempertahankan gelar.
Formasi 4-4-2—yang bisa bertransformasi menjadi 4-4-1-1—menjadi andalan Ranieri saat Leicester menjadi juara Premier League.