Demikian pula dengan kemunculan usulan hak angket kasus e-KTP dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah seusai jaksa KPK menyebut sejumlah legislator dalam sidang perdana kasus korupsi e-KTP.
Lucius menilai janggal usulan tersebut. Dia menyatakan, proyek pengadaan e-KTP memang melibatkan pemerintah, tetapi dalam hal anggaran justru diduga anggota DPR terlibat.
"Lalu bagaimana DPR nanti akan memeriksa mereka sendiri," kata Lucius.
(Baca juga: Fahri Hamzah: Jokowi Kaget Dengar Keterangan Saya soal E-KTP)
Ia menambahkan, hak angket memang bisa digunakan untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang diduga merugikan kepentingan publik.
Kasus e-KTP juga termasuk yang merugikan publik. Karena itu DPR bisa membentuknya kapan saja.
"Pertanyaannya kenapa baru sekarang inisiatif hak angket dimunculkan dan itu bersamaan dengan proses hukum di KPK. Ke mana DPR sebelum kasus ini mulai ramai dibicarakan sejak 2011 silam," kata dia.
Karena itu, sosialisasi revisi UU KPK dan usulan hak angket terkait e-KTP patut diduga sebagai intervensi DPR terhadap proses hukum yang tengah berlangsung di KPK, yang notabenenya banyak anggota DPR yang diduga terlibat.
"Ini semua bisa dibaca sebagai strategi intervensi DPR terhadap proses penegakan hukum. Usulan Fahri bisa dianggap Sebagai teror bagi KPK agar DPR terbebas dari sasaran KPK dalam mengungkap pelaku korupsi e-KTP," ucap Lucius.
Hal senada disampaikan Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Ester. Lola mengatakan, nama-nama pejabat yang diduga menerima aliran dana dalam proyek e-KTP adalah orang-orang yang masih berkuasa.
Sejumlah nama besar yang disebut menerima uang dalam surat dakwaan kasus e-KTP merupakan politisi dan anggota DPR. Hal ini masih memungkinkan penggunaan kekuasaan untuk melemahkan KPK dengan cara merevisi UU KPK oleh DPR.