Tulisan ini dibuat untuk 'membisingkan' telinga dan atau agar pemerintah NTT melek dalam melihat lebih jauh fenomena keterpurukan petani yang terus bergelut dengan kondisi kemiskinan yang sangat sulit untuk mereka mentahkan.
Merujuk pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, jumlah penduduk miskin di NTT pada Maret 2019 mencapai 24,91%.Â
Secara nasional, Provinsi NTT menduduki posisi ke-3 dari provinsi yang memiliki porsentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, setelah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Tentu ini menjadi ironi tersendiri dan begitu sangat memprihantinkan mengingat tanah NTT yang bisa dikatakan memiliki SDA yang sangat bisa diandalkan. \
Kondisi ini yang kemudian menjadi tanda tanya besar, kira-kira dimana delik persoalan yang menyebabkan salah urusnya pembangunan di NTT?
Kemiskinan di NTT tetap identik dengan pedesaan. Hampir 85% penduduk miskin di NTT tinggal di pedesaan dan bermata pencahariaan sebagai petani. Dengan demikian, hemat saya, untuk mengentaskan kemiskinan tidak lepas dari keberhasilan pembangunan sektor pertanian di pedesaan.
Pemerintah NTT telah menjadikan pembangunan sektor pertanian dalam artian yang luas sebagai prioritas utama setelah pariwisata. Telah banyak program-program pertanian yang telah diluncurkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani.
Sistem agribisnis yang mengintegrasikan subsistem hulu-hilir, pemasaran dan penunjang yang dianggap dapat meningkatkan produktivitas dna daya saing juga telah diterapkan.Â
Hasilnya, produksi dan produktivitas pertanian meningkat umumnya komoditi perkebunan kopi, cengkeh dan fanilli, petani garam dan peternakan meningkat tiap tahunnya.Â
Namun apakah keberhasilan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan petani?