Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menjelang Kelahiran sang Perawan Vestal

19 Juli 2024   20:05 Diperbarui: 19 Juli 2024   20:10 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kaos Novel KAPV (sumber: dokpri)

Novelbareng lagi ramai. Tiga puluh tiga penulis bersorak ria. Kapak Algojo dan Perawan Vestal (KAPV) akhirnya terbit. Turut meramaikan dunia literasi Indonesia.

Bagi yang belum tahu apa itu proyek novelbareng, sini, aku ceritakan.

Alkisah, tiga tahun yang lalu (2021), ada 33 penulis yang berani menerima tantangan dari inisiator proyek novelbareng: Mba Widz Stoops. Mereka kebanyakan adalah Kompasianer yang tergabung dalam komunitas Secangkir Kopi Bersama (Eskabers).

Ajakannya sih, sederhana, "Yuk kita kerjain novel keroyokan!" Tapi, bok. Isinya maut.

Jadi, ceritanya begini. Daeng Khrisna Pabichara (KP) didaulat sebagai kuncen. Ia memulai bab satu. Tulisan tersebut dimuat di web Eskabers. Penulis nomor urut dua akan membaca tulisan yang sudah terbit itu. Setelahnya, lima hari pun disediakan baginya untuk menyelesaikan bab selanjutnya. Si penulis itu diberi kebebasan untuk mengembangkan plot sesuai dengan halu fantasi-nya sendiri. Ia bisa menulis apa saja tanpa berdiskusi dengan sang kuncen ataupun penulis lainnya.

Demikian terus berlanjut hingga penulis yang ke-33. Setelahnya, Daeng KP akan menutup novel ini dengan menuliskan bab terakhir, akhir dari kisah, dan sekaligus meriasnya dengan suntingan final. Tamatlah sudah proyek bersama ini. Buku pun siap diterbitkan.

Gila juga. Mengingat tidak semua penulis memiliki pengalaman menulis fiksi. Tentunya ini menjadi sebuah pengalaman tersendiri bagi para kontributor. Perasaan bangga tentu ada. Tidak heran jika para penulis pun ramai meluapkan isi hati mereka dengan berbagai tulisan berhashtag #novelbareng di Kompasiana.

Lalu, selanjutnya apa?

Pada suatu pagi yang cerah, saya dihubungi oleh inisiator Mba Widz. "Rud, tiga tahun sudah hampir berlalu, proyek kita belum juga kelar." Demikian tangisnya.

Pasalnya bukan karena novel ini tidak layak terbit. Tapi mau diterbitkan di mana? Itulah yang menjadi pertanyaan. Daeng KP sudah mengajukan novel ini kepada tiga penerbit besar. Semua menolak. Bukan karena tidak layak terbit, tetapi menurut Daeng, mereka bingung bagaimana bekerja sama dengan 33 penulis.

Kebetulan aku sudah dua kali menerbitkan novel, seharusnya pengalamanku ini bisa menambah amunisi informasi. Karyaku sudah sering ditolak oleh penerbit mayor. Tidak perlulah berkecil hati. Konten yang bagus belum tentu diterima. Terkadang genre novel kita tidak sesuai dengan selera penerbit atau selera pasar. Semuanya atas nama cuan. Seperti (mungkin) alasan yang diberikan kepada Daeng -- Si penerbit bingung bagaimana membagi royalty dengan 33 penulis.

Saya lalu menantang Widz. "Bagaimana kalau kita telaah ulang isi novel?"

"Alasannya?" sahutnya.

Aku pun memberikan dua dalih. Pertama, novel ini sudah terlalu lama tak tersentuh. Tidak ada salahnya untuk meracau ulang dari awal. Siapa tahu ada satu dua konsep yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Itu perlu pembaharuan.

Kedua, tidak ada salahnya minta opini dari seseorang yang tidak pernah terlibat sama sekali dengan proyek ini. Dia mungkin punya pendapat yang berguna.

Gayung bersambut, aku pun menghubungi kawanku, Jia Effendie. Editor kawakan yang sudah bekerja sama denganku sebanyak dua kali untuk tiga novelku. Qi-Sha yang barusan terbit dan Petabhumi yang masih terbirit-birit.

Jia tidak langsung menyetujui. Dia minta waktu untuk membaca beberapa bab. Aku pun menunggu dengan hati was-was. Bukan karena takut ditolak. Kualitas novel KAPV ini sudah sangat mumpuni. Namun, hatiku tidak tenang karena aku tahu seperti apa Jia. Dia itu perfeksionis!

Beberapa hari berlalu, Jia setuju untuk mengambil proyek ini. Sebagaimana dugaanku, ia mengakui jika karya ini sudah nyaris sempurna. Hanya perlu beberapa sentuhan. Sentuhan kecil tapi cukup bikin kepalaku dan kepala Mba Widz empot-empotan.

Jia memberikan beberapa nama penulis kepada kami, sambil bertanya, "Apakah aku bisa menghubungi mereka?"

"Buat apa?" tanyaku. Alisku berkerut.

Alasan Jia cukup masuk akal. Andaikan ada pengubahan plot maka ia harus meminta izin kepada penulisnya. Sontak, aku dan Widz langsung menolak. Walaupun masuk akal, tetapi kami berdua bisa menjamin bahwa kebanyakan penulis sudah lupa dengan apa yang mereka tuangkan tiga tahun lalu.

Aku dan Widz lalu mengambil inisiatif. Atas nama "jangan tertunda lagi," biarkanlah kami berdua yang memutuskan apa yang perlu dan tidak perlu.

Namun, jangan kira itu pekerjaan enteng. Pertanyaan pertama dari Jia sudah cukup bikin kami ngakak kagak karuan. "Segara, si tokoh pria, agamanya apa sih?" tanya si editor

Jia bukanlah petugas sensus yang harus mengisi kolom status agama, melainkan ia adalah seseorang yang bertugas sebagai editor. Pertanyaannya itu berdasarkan penemuannya: Segara sholat, lalu sekonyong-konyong (mungkin karena amnesia), ia sudah berada di altar gereja dan bertugas sebagai altar boy. Fasih pula! Amsiong!

Ini hanya salah satu contoh. Masih ada beberapa lagi yang tidak boleh saya sebutkan. Karena, atas nama lekuk tubuh dan selera persetubuhan, tidak eloklah aku ceritakan di sini.

Singkatnya, kami akhirnya menghubungi dua penulis yang kisahnya harus dirombak total. Syukur-syukur mereka paham, dan mungkin juga tidak peduli, karena sudah lupa dengan apa yang sudah pernah mereka tulis.

Sekali lagi, selanjutnya apa?

Memilih penerbit. Aku dan Jia punya ide yang sama. Bagaimana jika novel ini kita ajukan lagi ke penerbit mayor. Total ada sekitar delapan hingga sembilan penerbit di benak kami. Namun, ide ini akhirnya urung dilakukan. Karena itu akan membuat novel ini tertunda lagi penerbitannya. Untuk menunggu kabar bahwa naskah diterima atau tidak saja, tiga bulan sudah termasuk cepat. Syukur-syukur malah bisa berkabar.

Kepiawaian penulis tidak menjamin bukunya bisa dilirik oleh penerbit mayor. Terkadang harus ada unsur keberuntungan. Terkadang juga popularitas adalah prioritas. Tidaklah mengherankan dan tidak usahlah Anda misuh-misuh. Buntut-buntutnya, penerbit harus memastikan investasi mereka bisa balik modal. Menjadi selektif itu masuk akal.

Akhirnya kami memilih penerbit yang sekarang ini. Aku tidak menyebutkan nama, karena bisa dianggap promosi. Tapi, pilihan kami tepat. Penerbit indie serasa mayor. Pelayanan mereka profesional dan memuaskan. Hasil cetakan buku pun bagus. Dan, yang terpenting, harganya tidak mahal.

Untuk ketiga kalinya, selanjutnya apa?

Aku dan Mba Widz memikirkan cara, bagaimana agar novel ini bisa laku. Untungnya, penerbit kami memberikan support. Kami bisa menjualnya di toko online. Hanya dipotong komisi oleh reseller. Penerbit juga membantu kami promosi di akun IG mereka. Lumayan, sekitar 17,2k pengikut.

Bookstagram juga menjadi pillihan. Beberapa telah kupilih. Mungkin sebentar lagi akan naik promosi.

Laku?

Setidaknya penjualan perdana kami mencapai 125 eksemplar. Meskipun yang beli adalah para penulis sendiri. Sisanya? Walahualam. Semoga saja jumlahnya bertambah.

Bagaimana dengan cuan?

Cuan penulis adalah keuntungan yang didapat dari hasil penjualan buku. Ringkasnya adalah perbedaan antara harga modal (ongkos cetak) dan harga jual. Berapa pun itu. Mba Widz memutuskan untuk memberi kesempatan kepada penulis untuk membeli buku ini dengan harga modal. Kalau pun penulis mau untung, biarlah cuan menjadi milik mereka.

Lalu, sebagai inisiator Mba Widz dapat apa?

Jangankan untung, buntung sudah pasti. Aku tahu persis bagaimana Mba Widz mengeluarkan ribuan dollar dari sakunya untuk membiayai penerbitan buku ini. 

Lha, kok banyak amat?

Mba Widz tidak suka gratisan. Semua pekerjaan harus ada reward-nya. Meskipun bukan dalam bentuk bayaran, atas nama kemanusiaan pun jadi. Bagi yang tidak percaya, pikirkan saja logikanya. Emangnya novel terbit kagak pakai duit? Kukapak kau pakai algojo. Eh ... 

Bener lho. Ini belum termasuk kaos cantik yang disponsori oleh Mba Widz. Setiap penulis dapat satu. Termasuk diriku yang sedang pamer di halaman depan artikel ini.

Ah, Mba Widz benar-benar seorang ibu yang penuh kasih. Merawat dengan sabar janin sang perawan vestal, hingga akhirnya ia lahir di bumi ini. Aku pun trenyuh melihat kegigihannya. Bagiku, menemani Mba Widz pada detik-detik terakhir menjelang kelahiran sang perawan adalah sebuah kehormatan yang tak terhingga.

Sudah ah, stop ngomong sendiri.

Akhir kata. Terima kasih sudah melibatkanku dalam proyek ini, my lovely sister, Widz Stoops. This memory will last forever.

Salam

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun