Jangankan untung, buntung sudah pasti. Aku tahu persis bagaimana Mba Widz mengeluarkan ribuan dollar dari sakunya untuk membiayai penerbitan buku ini.Â
Lha, kok banyak amat?
Mba Widz tidak suka gratisan. Semua pekerjaan harus ada reward-nya. Meskipun bukan dalam bentuk bayaran, atas nama kemanusiaan pun jadi. Bagi yang tidak percaya, pikirkan saja logikanya. Emangnya novel terbit kagak pakai duit? Kukapak kau pakai algojo. Eh ...Â
Bener lho. Ini belum termasuk kaos cantik yang disponsori oleh Mba Widz. Setiap penulis dapat satu. Termasuk diriku yang sedang pamer di halaman depan artikel ini.
Ah, Mba Widz benar-benar seorang ibu yang penuh kasih. Merawat dengan sabar janin sang perawan vestal, hingga akhirnya ia lahir di bumi ini. Aku pun trenyuh melihat kegigihannya. Bagiku, menemani Mba Widz pada detik-detik terakhir menjelang kelahiran sang perawan adalah sebuah kehormatan yang tak terhingga.
Sudah ah, stop ngomong sendiri.
Akhir kata. Terima kasih sudah melibatkanku dalam proyek ini, my lovely sister, Widz Stoops. This memory will last forever.
Salam
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H