"Alasannya?" sahutnya.
Aku pun memberikan dua dalih. Pertama, novel ini sudah terlalu lama tak tersentuh. Tidak ada salahnya untuk meracau ulang dari awal. Siapa tahu ada satu dua konsep yang sudah tidak sesuai dengan zaman. Itu perlu pembaharuan.
Kedua, tidak ada salahnya minta opini dari seseorang yang tidak pernah terlibat sama sekali dengan proyek ini. Dia mungkin punya pendapat yang berguna.
Gayung bersambut, aku pun menghubungi kawanku, Jia Effendie. Editor kawakan yang sudah bekerja sama denganku sebanyak dua kali untuk tiga novelku. Qi-Sha yang barusan terbit dan Petabhumi yang masih terbirit-birit.
Jia tidak langsung menyetujui. Dia minta waktu untuk membaca beberapa bab. Aku pun menunggu dengan hati was-was. Bukan karena takut ditolak. Kualitas novel KAPV ini sudah sangat mumpuni. Namun, hatiku tidak tenang karena aku tahu seperti apa Jia. Dia itu perfeksionis!
Beberapa hari berlalu, Jia setuju untuk mengambil proyek ini. Sebagaimana dugaanku, ia mengakui jika karya ini sudah nyaris sempurna. Hanya perlu beberapa sentuhan. Sentuhan kecil tapi cukup bikin kepalaku dan kepala Mba Widz empot-empotan.
Jia memberikan beberapa nama penulis kepada kami, sambil bertanya, "Apakah aku bisa menghubungi mereka?"
"Buat apa?" tanyaku. Alisku berkerut.
Alasan Jia cukup masuk akal. Andaikan ada pengubahan plot maka ia harus meminta izin kepada penulisnya. Sontak, aku dan Widz langsung menolak. Walaupun masuk akal, tetapi kami berdua bisa menjamin bahwa kebanyakan penulis sudah lupa dengan apa yang mereka tuangkan tiga tahun lalu.
Aku dan Widz lalu mengambil inisiatif. Atas nama "jangan tertunda lagi," biarkanlah kami berdua yang memutuskan apa yang perlu dan tidak perlu.
Namun, jangan kira itu pekerjaan enteng. Pertanyaan pertama dari Jia sudah cukup bikin kami ngakak kagak karuan. "Segara, si tokoh pria, agamanya apa sih?"Â tanya si editor