Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Novel Perkumpulan Anak Luar Nikah, Tionghoa Indonesia Tidak Seperti yang Dikira

28 November 2023   07:20 Diperbarui: 28 November 2023   07:21 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Perkumpulan Anak Luar Nikah dan foto Grace Tioso (sumber: detik.com, mizanstore.com, diolah pribadi)

Kadang, orang-orang mengharapkan kita, kamu, dan saya, orang Cina mencintai Indonesia tanpa syarat terlepas dari apa yang terjadi di masa lalu. Kita harus membuktikan lagi dan lagi bahwa kita adalah warga Indonesia yang setia. Dan, terkadang, itu tidak pernah cukup.

Paragraf pembuka pada artikel ini saya kutip dari novel yang baru saja kubaca hingga tuntas. Judulnya: Perkumpulan Anak Luar Nikah (PALN), karya kawan saya Grace Tioso.

Jangan salah paham dengan judulnya.

Novel ini tidak bercerita tentang aib sekelompok orang yang lahir dari perkawinan tidak sah. Istilah Anak Luar Nikah mengacu kepada mayoritas Tionghoa Indonesia kelahiran 1960-1990an. Tertera jelas pada akta kelahiran mereka akibat kebijakan diskriminatif Pemerintah Indonesia di zaman itu.

Sebuah fenomena masif yang masih jarang diketahui, bahkan hampir tidak penah dibahas.

Mengapa demikian?

Karena anak-anak itu lahir dari ayah yang yang bukan WNI. Umum disebut dengan WNA, padahal mereka bukan juga warga negara Tiongkok, tempat leluhur mereka berasal.

Manusia-manusia ini adalah warga tanpa negara atau stateless.

Perlakuan diskriminatif pun masih berlanjut hingga dekade lamanya. Penanda pada KTP dan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) menjadi momok tersembunyi yang selalu membayangi.  

Secara umum, isu inilah yang diangkat pada novel ini. Termasuk perlakuan-perlakuan diskriminatif warga keturunan Tionghoa di zaman Orde Baru.

Di novel PALN ini, Grace membawa fenomena ini dengan begitu menarik. Konflik dikreasikan dengan sangat natural, sehingga mampu mewakili apa yang dirasakan oleh mayoritas orang Tionghoa Indonesia di masa "kelam" itu. Fakta yang diungkit, sesuai dengan alur sejarah dan kenyataan di lapangan, sehingga saya, sebagai pembaca merasakan seperti sedang membaca sebuah buku biografi. Karakter dan alur yang dibangun dalam novel ini serasa begitu hidup dan nyata.

Sinopsis

Novel ini berkisah tentang empat wanita keturunan Tionghoa Indonesia yang perjalanan hidupnya selalu dibayangi dengan kelamnya diskriminasi rasial. Martha Goenawan adalah tokoh utama. Ia adalah seorang wanita yang pindah ke Singapura setelah berhasil mendapatkan bea siswa dari sebuah universitas ternama.

Ia bertemu dengan pujaan hatinya, Ronny, seorang asisten professor tampan yang pintar, disiplin, berdedikasi, tetapi sangat dingin. Sama seperti Martha, Ronny juga adalah seorang diaspora. Keduanya bertemu di universitas yang sama.

Sampai di sini, hidup terasa begitu indah. Namun, Martha yang terlahir dari keluarga miskin dan pernah menjadi korban kerusuhan 98, ternyata masih menyimpan trauma.

Pada saat teman-temannya memutuskan untuk melupakan masa lalunya dan tinggal tenang di Singapura, Martha justru bermain api. Ia bersama Yuni, sepupunya mengelola akun anonim DuoLion63 di platform Twitter.

Akun ini membahas tentang perkembangan politik di Indonesia, memantau aksi para caleg, sekaligus mengupas sisi pribadinya. Mereka tidak segan-segan menguak aib politikus kotor dan sekaligus membela yang benar. Akun mereka memiliki jutaan followers dan disegani baik oleh kawan maupun lawan.

Hingga suatu waktu, Martha tersandung masalah besar. Keteledoran di masa lalu membuat hidupnya berubah seketika.

Ada kuis "25 Question About Me," di sebuah platform digital. Martha mengisi sebuah pertanyaan yang menggoda: "Apa hal terliar yang pernah Anda lakukan saat berusia 17 tahun."

Martha yang masih polos pada saat itu menjawab, "Saya memalsukan dokumen legal, saya menggunakannya untuk melamar bea siswa. Saya diterima!"

Berita itu menyebar dengan cepat ke seantero Singapura, bahkan Indonesia, disertai dengan foto-foto lama Martha pada saat masih kuliah. Sontak hidupnya amburadul. Ia terancam dipenjara, dideportasi, dan kehilangan anak-anaknya. Suaminya pun terancam kehilangan pekerjaan.

Dokumen legal apa yang Martha palsukan?

Ternyata itu adalah akta kelahirannya yang tertera "Anak Luar Nikah." Martha yang naif tidak nyaman dengan status itu. Ia tahu jika kedua orangtuanya menikah secara hukum, tetapi mengapa ia harus disebut sebagai anak luar nikah?

Kisah berlanjut, konflik pun bermunculan. Meskipun alur utama pada novel ini berfokus kepada Martha sebagai tokoh utama, tetapi secara keseluruhan, novel ini berhasil mengangkat suka duka kehidupan warga Tionghoa Indonesia di masa lalu dari sisi yang berbeda.

Saya benar-benar tidak bisa berhenti membaca dan menikmati alur cerita ini. Begitu apik. Sebuah fiksi sejarah yang lengkap, menyentuh drama keluarga, kisah cinta romantis, thriller politik, hingga komedi. Namun, yang paling mengagumkan, Grace telah berhasil membebaskan pembaca dari prasangka dan stereotipe tentang warga Tionghoa Indonesia yang mungkin masih membelenggu hingga saat ini.   

Sebagai contoh, Grace mengajak pembaca menelusuri kenyataan bahwa warga Tionghoa Indonesia bukanlah komunitas yang homogen. Sub-kultur seperti totok, peranakan, hingga Hollands spreken, dikupas dengan begitu menarik.

Novel ini juga menciptakan representase karakter Tionghoa Indonesia yang lebih luas, baik dari segi pendidikan maupun pekerjaan. Ada Krisna si jurnalis, Ronny yang lebih senang menjadi dosen, dan Om Budi, ayah Martha yang berkeinginan menjadi guru. Secara umum, membantah anggapan bahwa orang Tionghoa Indonesia hanya melulu buka toko.

Begitu pula dengan isu sensitif di kalangan Tionghoa. Anggapan bahwa orang Tionghoa sebaiknya tidak berpolitik dibantah dengan begitu cerdas. Sebagaimana dalam adegan saat mama Martha selalu mengingatkannya bahwa untuk bisa hidup tenang di Indonesia, cukup baik dengan tetangga, bersembunyi di balik rolling door anti api, dan bingkisan untuk pak RT. Martha tidak setuju, untuk itulah ia memilih menjadi admin dari akun anonim DuoLion63.

Kenyataan Sejarah

Novel ini mengangkat fakta sejarah yang jarang diungkit dengan begitu jelas dan akurat. Tentang dua asas kewarganegaraan di dunia. Ius Soli (berdasarkan tempat kelahiran) dan ius sangunius (berdasarkan garis keturunan). Indonesia dan Tiongkok sama-sama menganut paham ius sangunius.

Dengan demikian, mereka yang lahir dengan nama Tionghoa pun dianggap sebagai warga negara RRT.

Pada 1958, pemerintah RI mengeluarkan aturan bahwa orang Tionghoa Indonesia harus memilih satu kewarganegaraan. Yang mau jadi WNI bisa mendaftar di kantor pemerintah. Sementara yang memilih menjadi warga negara RRT, mendaftar di kedutaan.

Sayangnya, aturan ini tidak tersosialisasi dengan baik. Sehingga sampai batas pendaftaran pada 1962, nasib sekitar 900 ribu orang Tionghoa Indonesia pun terkatung-katung. Mereka bukan WNI, tetapi bukan juga warga negara RRT. Mereka disebut sebagai WNA, tetapi sebenarnya tidak punya negara. Stateless. Nah, anak-anak orang inilah yang disebut sebagai Anak Luar Nikah. Nama ayah mereka tidak pantas tertera pada akta kelahiran.

Hal ini diperparah dengan Perpu no.10 tahun 1960 yang melarang usaha kecil dan eceran yang dimiliki oleh WNA di daerah pedesaan. Peraturan ini menyebabkan sekitar 300.000 orang Tionghoa harus kehilangan rumah dan sekitar 84.000 lagi kehilangan tempat usaha. Mereka pindah ke kota dan memulai hidup baru dari awal. Sebagian lagi pindah ke negara lain untuk melanjutkan hidup.

SBKRI pun menjadi wajib bagi warga keturunan Tionghoa. Sayangnya, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjadikannya sebagai alat untuk memeras. Banyak hal yang sengaja dipersulit, hingga aturan terbatas khusus bagi pemegang SBKRI: Ujung-ujungnya duit.

Saya menganggap novel ini sangat fenomenal, cukup bisa mewakili perasaan jutaan warga Indonesia Tionghoa yang terkena dampak diskriminasi di masa lalu.

Banyak hal relevan yang dibahas dari sisi Tionghoa. Tentang pandangan budaya, pola berpikir, hingga kebiasaan-kebiasaan yang menimbulkan polemik. Seperti keinginan para orangtua untuk mewariskan toko kepada anak-anaknya, dan penolakan dari anak-anaknya yang memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depan.

Juga tentang pandangan orang Tionghoa yang lebih menyukai anak pria. Wanita diharapkan tidak usah berpendidikan tinggi. Kecerdasan dan kemampuan mereka cukup digunakan untuk membantu suami. Mereka hanya menjadi terhormat bilamana suaminya adalah orang sukses.

Begitu pula tentang cara pandang yang diskriminatif dari kalangan Tionghoa kaya terhadap mereka yang miskin. Novel ini sukses mengangkat isu bahwa tidak semua orang Tionghoa itu hidup bergelimpangan harta, meskipun pandangan umum tidak melihat seperti itu. Bagaimana pemerasan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab tetap saja terjadi secara masif.

Dari sisi politik, novel ini juga sukses mengangkat fenomena pemilih yang lebih suka dengan isu viral ketimbang hal-hal yang benar.

Sedikit spoiler sebagai contoh ya.

Muhammad Rivai, seorang politikus jujur justru kalah dari pesaingnya yang benar terbukti korupsi. Semua karena politik uang, isu-isu tidak penting, dan kebencian. Alasan utamanya, karena Rivai adalah teman baik Martha.

Lalu, ada juga tentang nasionalisme.

Sepertinya ada anggapan umum bahwa orang Tionghoa memiliki nasionalisme yang tipis. Dalam novel ini, Grace dengan cerdas menguraikannya pada karakter Martha. Bagiamana ia yang mendapatkan perlakuan diskriminatif disebutkan tetap mencintai Indonesia. Sebagaimana kutipan yang sertakan berikut ini:

Jika yang dimaksud dengan cinta adalah perasaan berdebar-debar, Martha tak merasakan ini terhadap negara asalnya. Tidak ada perasaan berlebihan. Namun, jika cinta adalah dorongan untuk berbuat sesuatu, jika cinta adalah keinginan supaya yang dicintai menjadi lebih baik, lebih sejahtera, maka ya, Martha cinta Indonesia.

Bagi Martha, Indonesia seperti ibu. Yang mengajarkan Martha untuk menjadi Tangguh dan tidak gampang menyerah lewat diskriminasi yang dia alami sejak kecil. Bekerja keras, belajar untuk mengendalikan diri sendiri, dan tidak mengharapkan bantuan cuma-cuma karena semua bantuan harus dibayar dengan segepok uang.

Wasana Kata

Saya tidak beranggapan bahwa novel ini hadir untuk menguak luka lama. Saya lebih setuju bahwa pelajaran sejarah adalah sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. Sepahit apa pun itu, tetapi jika disikapi dengan bijak maka ia akan menjadi bibit-bibit perubahan.

Sebagai informasi, novel setebal 390 halaman ini adalah pemenang Mizan Writing Bootcamp. Sukses diterbitkan oleh Noura Publishing. Anda bisa membelinya di toko buku maupun di online store.

Well done Grace.

Oh ya, satu lagi nih yang tidak kalah seru. Saya dan Grace tergabung dalam komunitas penulis Semut Merah Kaizen, tempat berkumpulnya novelis-novelis Indonesia besutan Dee Lestari.

Nah, ada gosip di sana. Entah benar apa nggak ya

Katanya sih, novel Perkumpulan Anak Luar Nikah sudah dilirik produser. Tidak main-main, jika tidak ada aral melintang, kamu, kamu, dan kamu akan bisa menyaksikannya di NETFLIX. Wow!

Sukses ya Grace
Salam hormatku kepadamu.

**

Acek Rudy for Kompasiana

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun