Hal ini diperparah dengan Perpu no.10 tahun 1960 yang melarang usaha kecil dan eceran yang dimiliki oleh WNA di daerah pedesaan. Peraturan ini menyebabkan sekitar 300.000 orang Tionghoa harus kehilangan rumah dan sekitar 84.000 lagi kehilangan tempat usaha. Mereka pindah ke kota dan memulai hidup baru dari awal. Sebagian lagi pindah ke negara lain untuk melanjutkan hidup.
SBKRI pun menjadi wajib bagi warga keturunan Tionghoa. Sayangnya, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjadikannya sebagai alat untuk memeras. Banyak hal yang sengaja dipersulit, hingga aturan terbatas khusus bagi pemegang SBKRI: Ujung-ujungnya duit.
Saya menganggap novel ini sangat fenomenal, cukup bisa mewakili perasaan jutaan warga Indonesia Tionghoa yang terkena dampak diskriminasi di masa lalu.
Banyak hal relevan yang dibahas dari sisi Tionghoa. Tentang pandangan budaya, pola berpikir, hingga kebiasaan-kebiasaan yang menimbulkan polemik. Seperti keinginan para orangtua untuk mewariskan toko kepada anak-anaknya, dan penolakan dari anak-anaknya yang memiliki pandangan yang berbeda tentang masa depan.
Juga tentang pandangan orang Tionghoa yang lebih menyukai anak pria. Wanita diharapkan tidak usah berpendidikan tinggi. Kecerdasan dan kemampuan mereka cukup digunakan untuk membantu suami. Mereka hanya menjadi terhormat bilamana suaminya adalah orang sukses.
Begitu pula tentang cara pandang yang diskriminatif dari kalangan Tionghoa kaya terhadap mereka yang miskin. Novel ini sukses mengangkat isu bahwa tidak semua orang Tionghoa itu hidup bergelimpangan harta, meskipun pandangan umum tidak melihat seperti itu. Bagaimana pemerasan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab tetap saja terjadi secara masif.
Dari sisi politik, novel ini juga sukses mengangkat fenomena pemilih yang lebih suka dengan isu viral ketimbang hal-hal yang benar.
Sedikit spoiler sebagai contoh ya.
Muhammad Rivai, seorang politikus jujur justru kalah dari pesaingnya yang benar terbukti korupsi. Semua karena politik uang, isu-isu tidak penting, dan kebencian. Alasan utamanya, karena Rivai adalah teman baik Martha.
Lalu, ada juga tentang nasionalisme.
Sepertinya ada anggapan umum bahwa orang Tionghoa memiliki nasionalisme yang tipis. Dalam novel ini, Grace dengan cerdas menguraikannya pada karakter Martha. Bagiamana ia yang mendapatkan perlakuan diskriminatif disebutkan tetap mencintai Indonesia. Sebagaimana kutipan yang sertakan berikut ini:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!