Disklaimer;Â Opini ini mewakili pendapat pribadi, tidak mewakili opini umum maupun golongan tertentu.
Saya baru saja kedatangan dua sahabat. Membahas banyak hal yang sedang hangat. Salah satunya tentunya tentang Pilpres 2024. Suasana hangat, diselingi tawa canda bergelora. Lalu, sebuah pertanyaan dilontarkan oleh salah satu sahabat. Membuat kopi yang kuseruput terasa semakin hangat.
"Orang Tionghoa milih capres yang mana nih?"
"Orang Tionghoa yang mana nih?" kekehku.
Si sahabat kebingungan. Aku lebih bingung. Meskipun aku sudah tahu arah pertanyaannya. Temanku yang masih awam tentang kondisi sosial orang Tionghoa ini tentunya memaknai diriku dan kaumku sebagai orang "Tionghoa". Patokannya jelas, sipit, kulit putih, dan mostly pengusaha.
Ia tidak terlalu salah juga sih. Sebabnya beberapa tahun yang lalu, saat Pilkada Gubernur di Sulawesi Selatan, salah satu sahabat mendapatkan 'ancaman.' Hati-hati lho, calon gubernur tahu apakah orang Tionghoa Makassar mendukungnya atau tidak.
Patokannya mudah. Hanya melihat beberapa kecamatan yang konon didominasi oleh kaum mata sipit. (Untuk mudahnya, katakanlah itu kecamatan sipit). Dari sana sudah bisa terlihat, orang Cina Makassar mendukung pemimpin siapa.
Standar ini sudah lama berlaku. Setidaknya sekitar 30 tahun yang lalu. Pada saat itu, om Karel misuh-misuh. Ia berteriak lantang kepada seluruh temannya di warung kopi langganannya, "Kita harus memilih nomor xx." (merajuk ke nomor parpol yang berkuasa saat itu).
"Jika tidak, maka cilakalah kita. Bisa diganyang."
Saya merasa tidak perlu menjelaskan isi pernyataan om Karel. Tindakan diskriminasi dan represif masih menjadi isu hangat di zamannya. Sangat mudah mengidentifikasi arah politik orang Tionghoa dengan melihat pengelompokan serta pergerakannya.
Namun, di zaman sekarang, apakah masih relevan?
Sebagi informasi, Kecamatan Sipit telah bertransformasi. Banyak penduduk lama telah berpindah ke kecamatan lain. Termasuk diriku. Jadi, sekali lagi apakah masih relevan?
Ini hanya salah satu contoh yang paling mendasar. Dalam faktanya, ada yang lebih absurd lagi. Siapakah sebenarnya orang Tionghoa Indonesia itu? Apakah mereka yang sipit, berkulit putih, dan menjadi pengusaha?
Tidak semudah itu ferguso. Saya yakin dengan masuknya leluhur orang Tionghoa ke Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu, siapa pun tidak akan menjamin bahwa kamu, kamu, dan kamu sebenarnya juga memiliki darah Tionghoa. Pun halnya dengan mereka yang berkulit putih dan sipit, ada yang berani menjamin tidak ada kawin campur di antaranya?
Tapi, bukan itu yang dimaksud tentunya. Katakanlah penggolongan ini kita kerucutkan lagi. Yang dimaksud dengan orang Tionghoa Indonesia adalah mereka yang masih mengakui bahwa leluhurnya berasal dari Tiongkok dan masih menerapkan budaya Tionghoa warisan leluhur. Seperti perayaan imlek, nama marga, hingga (mungkin) nama Tionghoa.
Mengacu kepada kategori tersebut, apakah sudah menjadi lebih jelas arah dan pilihan orang-orang Tionghoa Indonesia?
Sekali lagi, tidak akan pernah bisa. Sebabnya pilihan politik adalah masalah pribadi. Sebagi contoh, dalam dua masa pilpres sebelumnya, saya dan istri ternyata memiliki pilihan yang berbeda.
Masing-masing dari kita sudah memiliki argumen terhadap pilihan tersebut. Dalam lingkup yang lebih besar lagi, yang terjadi saat ini, saya bahkan bisa melihat adanya 'perpecahan' dalam organisasi Tionghoa tempat saya mengekspresikan diri.
Bagai lagu "Balonku Ada Tiga, Rupa-rupa warnanya," saya bisa melihat dengan jelas, organisasi terpecah menjadi tiga kubu. Setiap Capres dielu-elukan dengan caranya sendiri. Nah, lho.
Jadi, masihkah relevan pertanyaan dari kedua sahabatku tadi, ke manakah arah pilihan orang Tionghoa? Mungkin saja sampai sekarang masih ada yang meyakini demikian.
Dan, ini terkait tentang mispersepsi pilihan politik orang Tionghoa. Setidaknya ada lima, dan dua sudah kujelaskan dalam celotehan singkatku tadi, yakni:
Pilihan Tionghoa Sejenis
Beberapa saat yang lalu, ada seorang pengusaha nasional yang mengklaim bahwa 7 juta orang Tionghoa memiliki pilihan yang sama. Cerita ini viral, sehingga seorang tokoh Masyarakat Tionghoa lainnya pun marah. Ia berkata jika pilihannya tidak diwakili oleh si pengusaha.
Saya setuju. Dan, itu sudah kujelaskan. Tidak ada seorang pun yang mampu menjamin bahwa semua warga Tionghoa memiliki pilihan yang sama.
Tionghoa Bisa Didefenisikan
Sebagaimana 'ancaman' kepada sahabatku yang sudah keceritakan tadi, sebuah wilayah tidak bisa dijadikan patokan sebagai representase pilihan Tionghoa. Apakah ada yang benar-benar namanya kampung cina? Jika iya, hal tersebut tidak akan mampu merepresentasekan pilihan orang Tionghoa secara nasional.
Tionghoa Cukong Penguasa
Ada beberapa pengusaha nasional yang kerap dituding sebagai cukong penguasa. Kehadiran mereka sebelum pilpres seolah-olah melegitimasi bahwa itu adalah kepentingan orang Tionghoa. Apapun namanya, mau Sembilan Naga atau Sembilan Cacing. Sobat, kalaupun ada yang melakukannya, saya yakin jika itu adalah keputusan pribadi. Sama sekali tidak mewakili warga Tionghoa.
Tionghoa Apolitis
Salah seorang kawan saya masih yakin jika pilihan presiden tidak akan membawa perubahan kepada kehidupan warga Tionghoa. Oleh sebabnya, ia tidak pernah masuk ke dalam bilik suara. Ia mungkin hanya salah satu dari sekian banyak warga lainnya. Mungkin saja karena masih dipengaruhi oleh trauma masa lalu saat politik masih dianggap tabu bagi sebagian kalangan.
Namun, untuk saat ini saya rasa sudah tidak relevan lagi. Kehidupan warga Indonesia secara umum juga mewakili kaum "mata sipit minoritas" yang berada di antaranya. Anda hanya belum bertemu dengan teman militan yang selalu berkoar-koar untuk tidak lupa memilih.
Tionghoa Punya Pengaruh Politik Secara Ekonomi
Kembali kepada situasi di Kecamatan Sipit. Salah seorang kawan mematahkan argumenku. Memang benar, penduduk Cinanya sudah bukan lagi mayoritas. Tapi, mereka punya puluhan hingga ribuan karyawan yang bisa dipengaruhi.
Saya ngakak. Sebabnya saya tidak pernah peduli dengan pilihan karyawan saya. Mau nomor 1,2, atau 3, yang penting nyoblos. Namun, secara logika berpikir. Adakah seorang pengusaha yang bisa memaksa karyawannya untuk memilih pilihan yang ia anggap ideal? Jawab saja sendiri.
**
Kendati demikian, ada juga benarnya jika orang Tionghoa memiliki pilihan yang homogen. Mereka mempunyai harapan yang sama terhadap sosok pemimpin masa depan. Ini tidak bisa dipungkiri, dan hampir pasti benar.
Calon Presiden Siapakah Itu?
Ia adalah seseorang yang bisa menjalankan pemerintahan dengan bersih, cinta damai, tidak mengusung politik identitas, bisa menjamin keamanan, mampu menggerakkan ekonomi, cinta kepada bangsa dan negara, mampu menaikkan derajat Indonesia di panggung dunia, dan ribuan karakteristik yang juga diharapkan oleh seluruh warga Indonesia.
Bukan oleh hanya orang Tionghoa saja. []
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H