"Aku lapar."
"Aku minta makan."
"Kasih aku makanan."
"Aku lapar."
"Aku lapar."
Semuanya seperti itu.
Sontak mata Ashing terbelalak. Ia baru sadar dengan siapa ia berhadapan. Ia baru tahu dengan siapa ia berbincang. Para hantu kelaparan yang tertarik dengan siaran langsungnya.
Lalu, tanpa pikir panjang ia pun mengambil langkah seribu. Berlari secepatnya meninggalkan tempat terkutuk itu. Tapi, semua sudah terlambat. Karena kalimat-kalimat permohonan sudah bukan lagi berada di ponselnya, melainkan terngiang keras memenuhi gendang telinganya.
**
"Si Ashing kenapa sih?" tanya seorang wanita cemas. "Sejak tadi pagi ia selalu cari makan. Ini sudah piring bubur kelima dan ia masih belum kenyang."
"Kamu sakit, mau ke dokter, nak?" tanya seorang pria yang juga turut khwatir.
Ashing tidak menjawab. Pandangan matanya kosong, badannya kaku seolah-olah sedang tertahan oleh sesuatu. Tidak ada hal lain yang ia lakukan, kecuali terus memasukkan sendok makan ke dalam mulutnya.
Akhirnya, papanya tidak sabar. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan anaknya. Lalu, dengan tegas ia merebut piring bubur dari hadapan Ashing.
Anaknya tertegun. Ia tidak melawan, ia tidak marah, bahkan tidak bergerak, tetap duduk di mejanya. Hanya saja ia terus menggumam berulang-ulang kali sehingga kedua orangtuanya semakin panik.
"Aku lapar."
"Aku lapar."
"Aku lapar."
"Aku lapar."
"Aku lapar." Â
**
Acek Rudy for Kompasiana