Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Makassar Pilihan

Saat Ati Raja Diiringi Tarian Barongsai, Retrospeksi Budaya pun Melebur

27 Oktober 2023   05:47 Diperbarui: 27 Oktober 2023   05:58 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar tiga bulan yang lalu, seorang kawan menelponku. "Rasanya kita bisa mainkan tawaran ini, koh Rudy." Demikian ia tegaskan.

Yang ia maksud dengan "mainkan" bukanlah proporsal bisnis sebagaimana jika dua pedagang Tionghoa bertemu. Namun, sesuatu yang lebih mulia. Sebuah tawaran dari teman-teman Lembaga Sosial, Adat, dan Budaya Sulawesi (LSABS) Parewabessi.

Menurut Yasin, kawanku itu, lembaga tersebut menawarkan kerja sama dengan PD Indonesia Tionghoa (INTI) Sulsel, organisasi tempat saya dan Yasin bernaung.

Gayung bersambut, teman-teman di organisasi setuju. Meskipun INTI bukanlah organisasi yang bergerak di bidang sosial budaya, tapi kerja sama ini sangat menarik. Terlebih lagi tema yang diusung: Retrospeksi Budaya Etnis Tionghoa dan Bugis-Makassar.

Sesuatu yang menarik, anti mainstream, masih jarang dieksplor. Setidaknya ini menurut pendapatku.

Syahdan, pertemuan lanjutan pun berlangsung di sebuah cafe di bilangan Pantai Losari kota Makassar. Saya dan beberapa teman INTI, bertemu dengan para petinggi LSABS Parewabessi. Ada Andi Ashari, Ketua Umum, Andi Oddang selaku ketua panitia, dan beberapa kawan lainnya.

Pertemuan berlangsung singkat dan hangat. Ditemani kopi hitam dan cemilan penyemangat. Tehnis acara dibahas dengan santai, tidak jelimet, dan hanya menyentuh pokok pembahasan utama; Tujuan diselenggarakannya acara tersebut.

"Kita tidak bisa mengabaikan peranan etnis Tionghoa yang telah berasimilasi selama ratusan tahun di tanah kelahiran kita ini," pungkas Andi Ashari memulai pembicaraannya.

"Selama ini Masyarakat tahunya etnis Bugis-Makassar sebagai kelompok masyarakat yang dominan. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada alkuturasi budaya Tionghoa di tengah-tengah kita." ujarnya lagi sambil menyeruput kopi hitam.

Tentu saja aku setuju, sobat.

Bahkan pikiranku mengembara lebih jauh lagi. Bukan saja tentang asimilasi, pembauran, atau apapun namanya. Tapi, tentang siapa diriku yang sebenarnya.

Sebagaimana kutipan dari Jawarhalal Nehru, "Budaya adalah pelebaran pikiran dan jiwa," begitulah yang aku rasakan, dan mungkin juga disetujui oleh para keturunan Tionghoa lainnya.

Akulturasi telah mengubah warga keturunan Tionghoa menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Tionghoa adalah leluhur, cukup sampai di sini. Aku lahir di bumi Nusantara, di tanah tempat bersemilirnya anging mamiri.

Sejenak aku berpikir. Mungkin inilah yang dinamakan Retrospeksi. Melihat kembali bagaimana Makassar bertumbuh dari hasil kawin campur budaya beberapa etnis yang mendiami kota ini.

Perlukah digaungkan? Tentu saja. Setidaknya itu yang dakar dilakukan oleh kawan-kawan dari LSABS Parewabessi.

"Karakter budaya etnis Tionghoa yang khas telah berjalan dan berinteraksi dengan karakter khas budaya Bugis Makassar. Itu membutuhkan perhatian," cetus Andi Oddang. Ia adalah ketua panitia.

Acara Retrospeksi Budaya Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar (Dokpri)
Acara Retrospeksi Budaya Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar (Dokpri)

Fort Roterdam, 21 Oktober 2023

Se're... Se're ji batara baule'
Ati raja....
Nakki jaiiii... Pa'nganroooi rikodong
Rajale'e.... leleeeee kereaminjo

Suara merdu terdengar dari seorang penyanyi, diiringi dengan musik langgam yang merdu. Aku tahu lagu itu! Judulnya Ati Raja. Ia mengingatkanku dengan almarhum kakek. Suara cengkok melayu khas mendayu-dayu, berbahasa Makassar yang selalu menemani kopi paginya.

Pernah aku tanyakan padanya. Ia bilang jika lagu itu tentang rasa syukur. Aku pun diam. Wajar saja, rasa syukur terlalu dalam maknanya bagi seorang bocah seperti diriku. Namun, di malam itu, di Fort Roterdam, rasa syukur itu baru saja membuka wajahnya yang baru.

Sebagaimana makna liriknya dalam Bahasa Indonesia:

Hanya ada satu tuhan
Ati Raja, hanya kepadamu kami meminta
Apapun itu yang sebenarnya
Ati Raja, pasti akan diterima segala permohonan
Walaupun hanya sebatas Hasrat.

Ya. Hasrat.

Hasrat dari teman-teman LSABS Parewabessi telah menjadi kenyataan pada malam itu. Meskipun berbahasa Makassar, pencipta lagu itu adalah seorang Musisi legendaris keturunan Tionghoa -- Sang Maestro, Ho Eng Djie.

Dari tangannya, lahir pula beberapa lagu hits lainnya di zamannya. Ammaciang, Kelong Sailong, dan dendang-dendang di antaranya.

Itulah Hasrat.

Setelah sebelumnya, tarian empat etnis dibawakan dengan sangat menarik oleh para penari dari Sanggar Seni Barasa', acara ditutup oleh tarian barongsai yang meriah dari Grup Barongsai Kelenteng Xian-ma. Acara terlaksana sukses.

Pagelaran seni ini memang hanya dihadiri oleh 300 orang peserta. Namun, semangatnya sudah didapatkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kakanda Dian Cahyadi, Majelis Tinggi LSABS Parewabessi sesaat sebelum acara dimulai.

Ia berkata kepadaku, "Masyrakat Bugis-Makassar memiliki arti harafiah tentang semangat. Ia laksana ruh yang menemani manusia di mana pun berada."

Ya. Semangat itu nyata. Teman-teman LSABS Parewabessi telah berhasil menyebarkan bibit-bibit unggul melalui pegelaran seni dan budaya. Mengajak Masyarakat berperan dan berpartisipasi dalam melestarikan muatan nilai etnis Tionghoa dan Bugis-Makassar kepada generasi bangsa.

Juga hadir dalam acara tersebut Bapak Drs. Laode Muh Aksa, selaku perwakilan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, dan Bapak Ludfi, selaku Kepala Bidang Kekayaan Budaya dari Dinas Kebudayaan Kota Makassar.

Kedua pejabat ini mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan. Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh bapak Laode, yang akrab aku panggil Bang Acil.

Ia berpesan, "Perbedaan itu ada di tengah masyarakat, bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan, melainkan sebuah kenyataan yang harus diapresiasi."

Sebagai wakil dari warga Tionghoa, aku pun mendapat giliran untuk membawa sepatah dua patah kata. Tidak ada teks yang kupersiapkan, tidak ada kalimat khusus yang harus aku pastikan. Diriku hanya mencoba menyampaikan apa yang aku rasakan pada malam itu.

Tentunya apresiasi dan ucapan terima kasih bertubi-tubi kepada para pelaksana acara dan hadirin yang turut meramaikan. Itu sudah pasti. Tidak ada lagi yang lebih penting daripada itu.

Kecuali....

Kecuali ketika bayangan wajah Ho Eng Djie tiba-tiba merasukiku saat aku berada di atas panggung.

Dari balik temaram di antara sorotan lampu, ia berbisik, "Tallu luwara lekona napak-napak, lalang bang sikontu bonena lino."

Syahdan aku pun berseru lantang, "Tempat yang kita huni akan menjadi kecil, bagaikan tiga lembar daun jika kita selalu memperdebatkan perbedaan. Namun, ia akan menjadi besar, laksana semesta isi alam jika kita menghargai keragaman."

Itulah makna dari lirik lagu Ammaciang, gubahan dari sang Maestro Ho Eng Djie

Terima kasih teman-teman dari LSABS Parewabessi. Semoga semangat pembauran ini selalu ada di antara kita, di antara Masyarakat, dan di seantero bumi pertiwi.

Semoga ia akan terus begaung, menjadikan tanah yang kita pijak ini sebagai tempat yang lebih layak untuk menghargai keragaman. []

**

Acek Rudy for Kompasiana

Acara Retrospeksi Budaya Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar (Dokpri)
Acara Retrospeksi Budaya Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar (Dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun