Kedua pejabat ini mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan. Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh bapak Laode, yang akrab aku panggil Bang Acil.
Ia berpesan, "Perbedaan itu ada di tengah masyarakat, bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan, melainkan sebuah kenyataan yang harus diapresiasi."
Sebagai wakil dari warga Tionghoa, aku pun mendapat giliran untuk membawa sepatah dua patah kata. Tidak ada teks yang kupersiapkan, tidak ada kalimat khusus yang harus aku pastikan. Diriku hanya mencoba menyampaikan apa yang aku rasakan pada malam itu.
Tentunya apresiasi dan ucapan terima kasih bertubi-tubi kepada para pelaksana acara dan hadirin yang turut meramaikan. Itu sudah pasti. Tidak ada lagi yang lebih penting daripada itu.
Kecuali....
Kecuali ketika bayangan wajah Ho Eng Djie tiba-tiba merasukiku saat aku berada di atas panggung.
Dari balik temaram di antara sorotan lampu, ia berbisik, "Tallu luwara lekona napak-napak, lalang bang sikontu bonena lino."
Syahdan aku pun berseru lantang, "Tempat yang kita huni akan menjadi kecil, bagaikan tiga lembar daun jika kita selalu memperdebatkan perbedaan. Namun, ia akan menjadi besar, laksana semesta isi alam jika kita menghargai keragaman."
Itulah makna dari lirik lagu Ammaciang, gubahan dari sang Maestro Ho Eng Djie
Terima kasih teman-teman dari LSABS Parewabessi. Semoga semangat pembauran ini selalu ada di antara kita, di antara Masyarakat, dan di seantero bumi pertiwi.
Semoga ia akan terus begaung, menjadikan tanah yang kita pijak ini sebagai tempat yang lebih layak untuk menghargai keragaman. []