Bahkan pikiranku mengembara lebih jauh lagi. Bukan saja tentang asimilasi, pembauran, atau apapun namanya. Tapi, tentang siapa diriku yang sebenarnya.
Sebagaimana kutipan dari Jawarhalal Nehru, "Budaya adalah pelebaran pikiran dan jiwa," begitulah yang aku rasakan, dan mungkin juga disetujui oleh para keturunan Tionghoa lainnya.
Akulturasi telah mengubah warga keturunan Tionghoa menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Tionghoa adalah leluhur, cukup sampai di sini. Aku lahir di bumi Nusantara, di tanah tempat bersemilirnya anging mamiri.
Sejenak aku berpikir. Mungkin inilah yang dinamakan Retrospeksi. Melihat kembali bagaimana Makassar bertumbuh dari hasil kawin campur budaya beberapa etnis yang mendiami kota ini.
Perlukah digaungkan? Tentu saja. Setidaknya itu yang dakar dilakukan oleh kawan-kawan dari LSABS Parewabessi.
"Karakter budaya etnis Tionghoa yang khas telah berjalan dan berinteraksi dengan karakter khas budaya Bugis Makassar. Itu membutuhkan perhatian," cetus Andi Oddang. Ia adalah ketua panitia.
Fort Roterdam, 21 Oktober 2023
Se're... Se're ji batara baule'
Ati raja....
Nakki jaiiii... Pa'nganroooi rikodong
Rajale'e.... leleeeee kereaminjo
Suara merdu terdengar dari seorang penyanyi, diiringi dengan musik langgam yang merdu. Aku tahu lagu itu! Judulnya Ati Raja. Ia mengingatkanku dengan almarhum kakek. Suara cengkok melayu khas mendayu-dayu, berbahasa Makassar yang selalu menemani kopi paginya.
Pernah aku tanyakan padanya. Ia bilang jika lagu itu tentang rasa syukur. Aku pun diam. Wajar saja, rasa syukur terlalu dalam maknanya bagi seorang bocah seperti diriku. Namun, di malam itu, di Fort Roterdam, rasa syukur itu baru saja membuka wajahnya yang baru.