Sekitar tiga bulan yang lalu, seorang kawan menelponku. "Rasanya kita bisa mainkan tawaran ini, koh Rudy." Demikian ia tegaskan.
Yang ia maksud dengan "mainkan" bukanlah proporsal bisnis sebagaimana jika dua pedagang Tionghoa bertemu. Namun, sesuatu yang lebih mulia. Sebuah tawaran dari teman-teman Lembaga Sosial, Adat, dan Budaya Sulawesi (LSABS) Parewabessi.
Menurut Yasin, kawanku itu, lembaga tersebut menawarkan kerja sama dengan PD Indonesia Tionghoa (INTI) Sulsel, organisasi tempat saya dan Yasin bernaung.
Gayung bersambut, teman-teman di organisasi setuju. Meskipun INTI bukanlah organisasi yang bergerak di bidang sosial budaya, tapi kerja sama ini sangat menarik. Terlebih lagi tema yang diusung: Retrospeksi Budaya Etnis Tionghoa dan Bugis-Makassar.
Sesuatu yang menarik, anti mainstream, masih jarang dieksplor. Setidaknya ini menurut pendapatku.
Syahdan, pertemuan lanjutan pun berlangsung di sebuah cafe di bilangan Pantai Losari kota Makassar. Saya dan beberapa teman INTI, bertemu dengan para petinggi LSABS Parewabessi. Ada Andi Ashari, Ketua Umum, Andi Oddang selaku ketua panitia, dan beberapa kawan lainnya.
Pertemuan berlangsung singkat dan hangat. Ditemani kopi hitam dan cemilan penyemangat. Tehnis acara dibahas dengan santai, tidak jelimet, dan hanya menyentuh pokok pembahasan utama; Tujuan diselenggarakannya acara tersebut.
"Kita tidak bisa mengabaikan peranan etnis Tionghoa yang telah berasimilasi selama ratusan tahun di tanah kelahiran kita ini," pungkas Andi Ashari memulai pembicaraannya.
"Selama ini Masyarakat tahunya etnis Bugis-Makassar sebagai kelompok masyarakat yang dominan. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada alkuturasi budaya Tionghoa di tengah-tengah kita." ujarnya lagi sambil menyeruput kopi hitam.
Tentu saja aku setuju, sobat.