"Koh mau minum apa?" tanyanya ceria. David menggelengkan kepalanya, mengimbangi matanya yang masih melotot.
Bagi Jasmine, itu adalah ungkapan kekaguman. Lalu, ia bebicara lagi, setengah berbisik, "aku yakin Koh adalah jodohku." Bagi David itu adalah vonis pengadilan. Ia langsung teringat dengan pesan papanya. "Jangan pernah masuk pengadilan, itu sial."
Dengan demikian, tiada jalan lain bagi dirinya untuk segera kabur dari sana. Otaknya berputar, tidak lagi mendengarkan celotehan Si Jasmine tentang dirinya. Tentang mengapa ia masih membujang, dan seribu bekas pacarnya yang ia tolak. Alasannya, karena itu bukan jodohnya, sebagaimana David yang kini sudah keringatan.
David terus memutar otak. "Jika bukan karena cinta aku tidak di sini. Jika bukan karena obat kuwat, ia tidak akan bertemu dengan wanita itu." Lalu, kalimat sakti pun ia serukan.
"Ajarkan aku cara minum obat kuwat," ujarnya lancar sambil mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompetnya. Ia tidak ingin berlama-lama di sana.
Rupanya Jasmine bisa membaca gelagat David. Ia kecewa, tapi tidak tersinggung. Wajahnya tetap tersenyum sambil meraih dua pil berwarna merah jambu dari dalam tasnya.
"Coba Koh minum ini dulu. Khasiatnya bukan hanya vitalitas, tapi bisa berfungsi seperti jimat pencari jodoh."
David enggan meminum ramuan yang tidak jelas. Tapi, saat itu tidak ada pilihan lain. Mengambil risiko sakit perut jauh lebih baik daripada harus berlama-lama di sana.
Tanpa pikir panjang ia langsung meneguk pil cinta itu. Es jeruk yang dipesan Jasmine menjadi pendorongnya.
"Sudah? Apa yang Koh rasakan?" tanya Jasmine sambil tersenyum.
David tidak merasakan apa-apa, kecuali tenggorokannya yang terasa nyeri karena terlalu sering menelan ludah.