RUMAH Bakmi Hao kembali ramai. Tidak ada waktu lagi yang tersedia bagi Chuang untuk mengatur strategi. Apa, bagaimana, dan di mana mencari jodoh.
"Satu porsi bakmi, pangsitnya dobel."
"Dua bakmi besar."
"Tiga es jeruk."
Suara pelanggan sahut menyahut di dalam ruang makan kedai yang tidak terlalu besar itu. Chuang sibuk melayani pelanggan, sementara mamanya sibuk menyiapkan pesanan.
"Koh, bakmi ukuran kecil satu ya." Sebuah suara merdu tiba-tiba menggetarkan hatinya. Chuang mengenali setiap pelanggan bakmi. Dan, ia tahu pasti jika suara merdu itu adalah pelanggan baru. Namun, bukan orang baru. Ia adalah wanita yang saban pagi lewat di depan rumahnya. Wajahnya agak jutek, rambutnya pendek, dan penampilannya agak molek.
"Eh. P-Pakai wangsit?" Chuang salah ucap. Ia kagok. Badannya kaku. Lidahnya tiba-tiba kelu.
Apalagi ketika perempuan itu tertawa lepas, senyumnya lebar, selebar hidung Chuang. Giginya bergelombang, sebagaimana perasaan Chuang saat itu. Ialah yang selama ini telah merebut hatinya, kini hadir di hadapannya. Persis di saat yang tepat. Saat waktu bergulir, menyisakan kurang dari tujuh hari lagi untuk mencari jodoh.
"Nama saya Khema," pungkasnya singkat dengan wajah malu-malu. Chuang yang terbiasa ketus, sontak berubah tulus.
"Nama saya Sabar." Ia melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Sinsabar bukan pilihan utama, tapi entah mengapa ia memilih nama itu pada saat itu untuk membalas salam perkenalan Khema. Dan, sekali lagi gadis cantik itu memberinya hadiah. Berupa senyuman yang lebih lebar, disertai suara ngakak.
"Koh, es jeruknya mana." Suara keras seorang pelanggan membuyarkan lamunan Chuang.
"Eh, sabar. Tunggu." Chuang menjawab terbata-bata tanpa mengalihkan pandangannya kepada Khema yang tersipu malu.
Perasaan Chuang masih berdebar-debar ketika ia masuk ke dalam dapur, mengambil pesanan para pelanggan yang sudah siap disajikan. Sekaligus menuntaskan tugasnya, melayani para pelanggan yang datang pada hari itu.
Waktu berlalu begitu cepat, satu persatu pelanggan meninggalkan Rumah Bakmi Hao. Wajah mereka puas, dan Chuang tahu artinya. Bakmi Hao memang terkenal dengan kelezatannya. Itu karena resep dan ritual rahasia yang saban kali dilakukan mamanya. Mengusap-usap hidungnya sebanyak tujuh kali, sebelum mulai memasak.
Biasanya ekspresi pelanggan seperti itu adalah hiburan bagi Chuang. Tapi, tidak pada hari itu. Ada yang lebih menarik. Khema cantik yang masih menjadi perhatian utamanya. Kehadirannya masih penuh tanda tanya. Apakah Toa Pe Kong mendengarkan doanya, mengusir si Pencinta Bule dan mendatangkan penyayang leluhur. Dan bagai gayung bersambut, Chuang merasa jika perempuan berambut pendek itu juga menaruh perhatian kepadanya. Sebabnya, beberapa kali ia mendapati Khema melirik malu-malu ke arahnya.
Pada saat meja yang berisikan pelanggan hanya tersisa satu, gadis itu berdiri dan berjalan menuju meja kasir. Sambil mengeluarkan dompetnya untuk membayar, ia berkata, "Koh, sibuk? Bisa minta waktunya sebentar?" tanyanya sambil memasang senyuman terindah.
"Eh. Tidak juga sih."
"Begini Koh, sudah punya asuransi?"
"Eh. Belum." Darah Chuang sontak berdesir kencang. Ada sedikit perasaan sakit hati dan kecewa bercampur cinta. Rupanya gadis itu punya agenda lain. Menjual senyuman untuk seberkas kertas asuransi.
"Chuang!" teriakan nyaring mamanya menggemparkan gendang telinganya.
"Cuci piring!" sahutnya untuk kedua kali.
"Sabar, Chuang lagi bicara!"
"Dengan siapa?"
"Eh. Penjual asuransi."
"Suruh pulang saja, aku masih sehat!" teriak si Mama.
Chuang tahu jika untuk urusan yang satu ini mereka selalu kompak. Hoey Beng sahabatnya bahkan pernah dilempari bakiak oleh mamanya, gegara mencoba menawarkan asuransi.
"Jangan beli. Jangan durhaka, mau Mama mati cepat!?" teriak Mamanya lagi.
Namun, kali ini Chuang berubah jinak. Jika saja yang berdiri di hadapannya adalah orang lain, maka ia akan dengan tegas menolaknya. Tapi, si wanita yang berambut pendek itu sudah terlanjur menaklukkan kelakiannya. Chuang sudah lupa marah, sudah tidak bisa lagi berkata kasar.
"Bagaimana Koh? Mau coba saya jelaskan?"
"Eh." Chuang benar-benar bingung harus bagaimana. Itu karena suara lantang mamanya kembali terdengar.
"Suruh pulang saja. Mama belum mau mati!"
Si gadis tetap tersenyum. Ia memperlihatkan kekuatan mental yang tak terkira. Dimaki pun tak marah. "Atau begini saja, Koh. Ini kartu nama saya. Nanti saya datang lagi kalau Koh gak sibuk, ya."
Chuang mengambil kartu nama berwarna biru itu dengan tangan gemetar. Bau wangi tercium dari kertas berbahan emboss. Lengkap dengan logo perusahaan asuransi berkelas dunia. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Chuang. Tapi, nama yang tertera padanya, Khema Khanti Paramitha.
Mengartikan sesuatu.
Chuang bukanlah ahli bahasa, tapi ia tahu jika nama itu bermakna sesuatu. Ia tidak tahu apa itu, tetapi yang pasti bukan dari golongan penolak berhala. Pemilik nama itu pasti tidak masalah dengan sembahyang Toa Pe Kong.
"Eh. Bisa juga," ujar Chuang ketika sadar bahwa Khema masih berdiri di depannya. Sejenak ia heran, mengapa wajah gadis yang biasanya ia lihat jutek itu tidak lagi seperti itu? Apakah itu adalah tanda-tanda cinta?
"Chuang, usir penjual asuransi itu!"
**
KAMIS siang.
Seperti biasa, toko milik Rusli selalu ramai pengunjung. Tujuh orang pegawai toko masih belum cukup untuk melayani para pelanggan yang antri menunggu layanan. Rusli sampai harus mengajak Rinah, istrinya untuk berjibaku membungkus pesanan. Rusli tahu, itu karena imlek sebentar lagi akan tiba. Kertas angpao, hiasan dinding, lampion, baju cheongsam, hingga kue keranjang pasti laku keras.
Tapi, pagi itu tidak seperti biasa. Itu karena ada seorang pria yang datang memborong kertas angpao yang bukan bergambar shio. Ia mencari yang berlogo shuan-shi atau double happiness, yang hanya umum digunakan untuk pesta kawinan orang Tionghoa.
"Ini doang. Gak ada lagi?" tanyanya kepada Rusli.
"Iya, Koh. Soalnya sekarang stok angpao shio lebih banyak untuk keperluan imlek," jawab Rusli tanpa mengalihkan tatapannya sesaat pun kepada pria yang berbicara dengannya. Wajah si Engkoh benar-benar mencengangkan. Sangat mirip dengan Chuang.
"Eh. Kemarin Engkoh bilang namanya siapa lagi?"
"Aku Chuang," jawabnya acuh seraya melihat-lihat jejeran kertas angpao di depannya.
"Kapan rencana nikah, Koh?"
"Nanti seminggu setelah cap go meh."
"Emangnya kenapa?" Sekarang justru si Mirip Chuang yang balik bertanya.
"Eh, tidak Koh." Perhatian Rusli benar-benar terpaku pada si lawan bicara. Ia bahkan tidak menghiraukan omelan istrinya atas antrian pelanggan yang membludak.
"Kalau gitu, aku beli juga sekalian amplop shio deh," pungkasnya, masih terlihat acuh. Rusli mengiyakan dan mengeluarkan tumpukan koleksi jualannya.
Setelah itu, ia langsung melongsor keluar toko. Saat itu, tiada lagi yang lebih penting daripada menelpon sahabatnya yang juga bernama Chuang. []
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H