"Eh. Penjual asuransi."
"Suruh pulang saja, aku masih sehat!" teriak si Mama.
Chuang tahu jika untuk urusan yang satu ini mereka selalu kompak. Hoey Beng sahabatnya bahkan pernah dilempari bakiak oleh mamanya, gegara mencoba menawarkan asuransi.
"Jangan beli. Jangan durhaka, mau Mama mati cepat!?" teriak Mamanya lagi.
Namun, kali ini Chuang berubah jinak. Jika saja yang berdiri di hadapannya adalah orang lain, maka ia akan dengan tegas menolaknya. Tapi, si wanita yang berambut pendek itu sudah terlanjur menaklukkan kelakiannya. Chuang sudah lupa marah, sudah tidak bisa lagi berkata kasar.
"Bagaimana Koh? Mau coba saya jelaskan?"
"Eh." Chuang benar-benar bingung harus bagaimana. Itu karena suara lantang mamanya kembali terdengar.
"Suruh pulang saja. Mama belum mau mati!"
Si gadis tetap tersenyum. Ia memperlihatkan kekuatan mental yang tak terkira. Dimaki pun tak marah. "Atau begini saja, Koh. Ini kartu nama saya. Nanti saya datang lagi kalau Koh gak sibuk, ya."
Chuang mengambil kartu nama berwarna biru itu dengan tangan gemetar. Bau wangi tercium dari kertas berbahan emboss. Lengkap dengan logo perusahaan asuransi berkelas dunia. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Chuang. Tapi, nama yang tertera padanya, Khema Khanti Paramitha.
Mengartikan sesuatu.