Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Pernikahan Kedua yang Berakhir Tragis

24 Agustus 2023   10:11 Diperbarui: 24 Agustus 2023   10:13 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: People.howstuffworks.com, diolah pribadi

Bagai si punguk merindukan bulan, Aweng ngebet mau kawin lagi. Namun, bukanlah perkara jodoh atau tepukan sebelah tangan. Aweng sudah memiliki calon pengantin; Lingga yang cantik, baik hati, dan berbudi pekerti.

Namun, ia terikat dengan masa lalunya. Bertahun-tahun yang lalu, ia telah dijodohkan dengan seorang wanita. Melalui sebuah pernikahan yang sederhana, tapi sakral.

Menurut Mamanya, itu adalah keinginan leluhur. Meskipun sebelumnya ia tidak pernah melihat istrinya, tetapi itu tidak masalah. Yang perlu ia lakukan saat itu hanya berjanji di depan altar, dengan tiga batang dupa dan asap yang membumbung tinggi.

Aweng adalah seorang anak spesial. Semenjak ia dilahirkan, Mamanya sudah tahu ia tidak akan berumur panjang. Bukan karena penyakit bawaan mematikan, tetapi karena bei-jit-nya yang berkata demikian.

Lalu, ada om Akiong. Kakak tertua keluarga Xiao yang dihormati oleh seluruh sanak keluarganya. Konon ia bisa berbicara dengan leluhur. Dan, ialah yang mengusulkan agar Aweng segera menikah. Tidak peduli usianya yang belum akhil balik. Pernikahan bukan melulu persoalan cinta.

**

Hari ini Aweng baru menyesalinya. Mengapa ia bisa begitu bodoh menerima jodohnya. Rasa benci juga menyisipinya. Pernikahan anak di bawah umur, bukankah itu melanggar hukum?

Oh tidak.

Tersebab pernikahannya dengan gadis itu hanya diketahui oleh pihak keluarga saja. Bukan untuk konsumsi orang luar. Demikian pula dengan Lingga. Gadis manis itu tidak tahu status Aweng yang sebenarnya, bahwa ia adalah seorang pria beristri.

Sudah lebih dari lima tahun Aweng dan Lingga menjalin kasih. Tentunya tanpa sepengetahuan keluarganya. Lalu, rasa itu tak lagi tertahankan. Si Punguk benar-benar ingin kawin lagi. Merasakan hidup bahagia yang sebenarnya, berpoligami dengan caranya sendiri.

Apakah Lintang tidak akan sakit hati?

Tidak, karena Aweng yakin ia tidak akan tahu. Kalaupun iya, Aweng berani jamin jika ia lebih mencintai Lingga daripada istri pertamanya. Lagipula alasan pernikahannya hanya karena dorongan tradisi saja. Hitung-hitungan bei-jit yang sudah tidak berlaku lagi.

**

"Lalu bagaimana dengan istri pertamamu?" Suara ibunda Aweng menggelegar di tengah siang bolong.

"Ia tidak pernah benar-benar ada untukku, Ma!" Aweng mencoba protes.

"Tidak ada?"

"Coba lihat ke dalam kamarmu. Ia begitu setia menemanimu. Mungkin saja ia sedang menangis mendengarkan rencanamu untuk kawin lagi! Kamu kelewatan, Aweng! Dia sudah menyelamatkan nyawamu dan kamu begitu saja mengkhianatinya?"

"Tidak ada tapi-tapi!" bantah ibunya seraya memelototkan matanya.

"Mungkin ada cara lain," Om Akiong yang bijak mulai bersuara. "Aweng masih muda. Gairahnya masih menyala. Lagipula istri pertamanya tidak bisa memberikannya keturunan."

Sekilas Aweng melihat tatapan mata Mamanya yang berubah. Ada secercah harapan. Om Akiong penyelamat masa depannya.

"Tapi.... Kita harus menanyakan langsung kepada istri Aweng."

"Bagaimana caranya?"

"Biar aku yang bertanya, karena aku yang menjodohkan mereka berdua."

**

Setengah jam berlalu, jantung Aweng terus berdegup kencang. Ia tahu jika masa depannya sangat tergantung dari Om Akiong meyakini istri pertamanya. Jika tidak berhasil, tidak ada lagi jalan keluar. Aweng akan pergi dari rumah, meninggalkan ibu dan juga istrinya. Itu keputusan yang paling tepat.

Dan, kekhwatirannya pun menjadi kenyataan. Om Akiong keluar dari kamar dengan wajah lesu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa bersuara sedikit pun.

"Istri kamu tidak rela!"

Jawaban om Akiong cukup bagi Aweng. Ia mengangkat pantatnya dari tempatnya duduk. "Ma, maafkan Aweng yang durhaka."

"Tapi, saat ini tidak ada yang lebih penting daripada Lingga. Saya pamit, Ma."

Aweng membuka pintu kamarnya dan bergegas masuk ke dalamnya. Mengambil kopor dari dalam lemari, sekaligus pergi meninggalkan rumah itu. Hatinya perih mendengar ibunya yang menangis lirih. Tapi, ia tidak peduli. "Semoga engkau Panjang umur, sehat selalu, agar bisa meminang cucumu nanti, Ma." Demikian doa yang ia panjatkan.

**

Malam berganti subuh, pagi datang menyambut wajah lusuh. Aweng benar-benar ingin kawin lagi. Ia tidak mau peduli dengan istrinya yang masih terbaring di kamar tidurnya. Ia juga tidak peduli dengan sikap kolot ibunya. Tidak bisa menerima anaknya berpoligami.

Akhirnya ia bertekad untuk melaksanakan resepsi tanpa kehadiran keluarga Xiao. Toh, pestanya juga kecil-kecilan. Hanya mengundang beberapa teman kantor dan keluarga kecil Lingga.

Alhasil dalam sebulan semua persiapan selesai. Resepsi pernikahan dijalankan dengan khidmat, meskipun dengan restu ibunda yang telat. Malam pertama dijalani dengan indah, kamar rumah kontrakan menjadi saksi kisah cinta sejati berdua.

Selama seminggu menjadi pengantin baru, sungguh hidup yang selama ini Aweng idam-idamkan. Ditemani istri cantik yang setia menemani.

Hingga kejadian di malam itu membuat Aweng terperangah.

"Kamu sudah beristri," sambut Lingga dengan wajah lesu dan mata yang bersembab air mata, membuat Aweng terbisu.

"Kenapa kamu tidak jujur padaku, Koh."

"T-Tapi, Lingga. A-Aku...." Aweng tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena ia memang sudah beristri. Namun, bukan itu yang membuatnya kalut. Tapi, bagaimana istri barunya ini tahu tentang masa lalunya.

"Ia cantik, Koh. Ia cantik." Ujaran Lingga membuat Aweng semakin bergidik. Bagaimana ia bisa tahu? Apakah ia pernah ke kamarnya dan bertemu dengan istrinya.

"Ia datang kemari. Ia mengetuk pintu. Lalu, dengan sabar ia perkenalkan dirinya sebagai istrimu."

Aweng benar-benar tidak habis berpikir. Bulu kuduknya sontak berdiri, seiring dengan keringat dinginnya yang mengucur deras.

"D-Dimana ia sekarang""

Lingga tidak menjawab. Ia hanya menunggu momen itu. Aweng sudah tidak penting lagi baginya. Saat itu ia hanya ingin menghambur keluar dari rumah. Pergi sejauh mungkin. Berlari kencang, menyusuri jalan raya.

Sebuah truk datang dari arah berlawanan. Menyisir kencang jalanan ibu kota. Tabrakan tak terelakkan lagi, Lingga terjerembab bersimbah darah.

**

Aweng meratapi nasibnya, ditinggali istri tercinta. Hanya selang seminggu usia perkawinannya. Ia ingin marah, tetapi kepada siapa? Om Akiong sudah memperingatinya. Lalu kepada istri pertamanya? Wanita itu bahkan tidak pernah menghiraukannya.

Tiada lagi yang bisa ia lakukan, selain meratapi nasibnya yang malang.

Malam itu disambut dengan kesedihan. Jasad Lingga terbujur kaku di dalam peti mati. Asap hio membumbung tinggi, menghantar kesedihan yang tak bertepi.

Sudah lebih dari 10 jam, Aweng belum juga beranjak dari tempatnya. Duduk bersimpuh di samping peti mati. Semua ucapan duka cita hanya terdengar seperti hembusan angin. Tidak tedengar sama sekali. Tidak berarti sama sekali.

Lalu, bayangan kesedihan itu pun datang. Kembali ke masa dua puluh tahun lalu. Saat itu Aweng baru berusia 9 tahun. Usia transisi kata orang China. Jika tidak berhati-hati maka nyawa melayang.

Itulah sebabnya Ibunya membawanya ke sana. Lengkap dengan baju tangsuit dan topi bulat hitam. Tidak lupa pula kain merah yang disematkan melintang dari pundak hingga ke pinggang.

"Kita bikin apa, Ma?" tanya si Aweng kecil.

"Kamu akan segera menikah, Anakku."

"Dengan siapa Ma?" nada suara Aweng mulai berubah. Ia tidak ingin menikah dulu. Bermain gundu dan video game masih menjadi favoritnya.

"Kamu hanya perlu sembahyang di depan altar leluhur," pungkas ibunya mencoba menenangkan. Ia tahu jika anaknya masih belum mengerti apa-apa. Itulah sebabnya ia lebih berperan dalam resepsi pernikahan itu.

"I ciet-kong, ol ciet-kong, sam ciet-kong."

Tiga kali soja sudah dilakukan. Menandai pernikahan sudah resmi terjadi. Om Akiong yang memimpin upacara melakukannya dengan cepat. Ia tahu jika si bocah akan banyak bertanya. Dan, ia tidak mau direpotkan dengan hal itu.

"Istriku siapa, Ma?" tanya si bocah sambil celingukan.

"Ia seorang dewi," jawab ibunya seraya memberikan sebungkus kado kepada anaknya.

Sang anak tidak lagi bertanya. Matanya berbinar ketika melihat beberapa bungkus permen, coklat, dan juga kue kesayangannya. Ia tidak lagi peduli siapa istrinya. Ia bahkan tidak peduli ketika Mamanya membawa pulang sebuah benda.

Sebuah boneka yang terbuat dari kertas. Untuk menemani anaknya tidur di kala malam.

Dan, Aweng benar-benar tidak tahu jikalau dirinya barusan saja menjalani Ritual Perkawinan Hantu -- Tolak Bala untuk menyambung usia.

**

Disklaimer: Kisah ini hanya fiksi. Kesamaan nama dan tempat bukan kesengajaan.

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun