"Bagaimana caranya?"
"Biar aku yang bertanya, karena aku yang menjodohkan mereka berdua."
**
Setengah jam berlalu, jantung Aweng terus berdegup kencang. Ia tahu jika masa depannya sangat tergantung dari Om Akiong meyakini istri pertamanya. Jika tidak berhasil, tidak ada lagi jalan keluar. Aweng akan pergi dari rumah, meninggalkan ibu dan juga istrinya. Itu keputusan yang paling tepat.
Dan, kekhwatirannya pun menjadi kenyataan. Om Akiong keluar dari kamar dengan wajah lesu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa bersuara sedikit pun.
"Istri kamu tidak rela!"
Jawaban om Akiong cukup bagi Aweng. Ia mengangkat pantatnya dari tempatnya duduk. "Ma, maafkan Aweng yang durhaka."
"Tapi, saat ini tidak ada yang lebih penting daripada Lingga. Saya pamit, Ma."
Aweng membuka pintu kamarnya dan bergegas masuk ke dalamnya. Mengambil kopor dari dalam lemari, sekaligus pergi meninggalkan rumah itu. Hatinya perih mendengar ibunya yang menangis lirih. Tapi, ia tidak peduli. "Semoga engkau Panjang umur, sehat selalu, agar bisa meminang cucumu nanti, Ma." Demikian doa yang ia panjatkan.
**
Malam berganti subuh, pagi datang menyambut wajah lusuh. Aweng benar-benar ingin kawin lagi. Ia tidak mau peduli dengan istrinya yang masih terbaring di kamar tidurnya. Ia juga tidak peduli dengan sikap kolot ibunya. Tidak bisa menerima anaknya berpoligami.