Akhirnya, tuntas juga tugas saya sebagai juri untuk Lomba Cerpen Horor yang diadakan oleh Komunitas Pulpen. Total ada sembilan karya. Sejujurnya, bagus-bagus semuanya. Saya sampai bingung harus memilih yang mana.
Namun, lomba ini memiliki tujuan. Bukan hanya untuk membawa pulang novel Berdansa dengan Kematian (BDK), karya Acek Rudy. Tapi, lebih jauh lagi.
Saat pertama saya berdiskusi dengan Kners Y. Edward Horas, penggagas Komunitas Pulpen, saya memang sudah memiliki ide ini. Mengapa tidak mengajak para peserta lomba untuk berkontribusi dalam novel ketiga Acek Rudy?
Sebagai informasi, novel pertama Acek Rudy telah menarik perhatian penerbit besar, Elex Media Komputindo. Mereka lalu menantang saya. "Mengapa tidak membuat sekuelnya?" Saya menjawab dengan tegas. "Akan kubuat triloginya."
Saat ini, novel kedua sudah sampai tahap layout dan desain cover. Jika sudah siap, mungkin sebulan lagi akan terbit. Judulnya;Â Qi-Sha. Artinya "Tujuh Bintang Petaka."
Novel ketiga sudah sampai bab 4. Rencananya akan menjadi pamungkas dalam dua episode sebelumnya. Mendatangkan ulang seluruh karakter utama, yang kalau dihitung bisa mencapai sekitar 10 orang. Sebuah tantangan bagiku.
Novel ketiga ini juga akan memadukan kisah dari dua episode sebelumnya. Menjadi semacam kesimpulan dari apa yang masih membuat pembaca penasaran.
Nah, kembali kepada lomba cerpen horor Pulpen.
Saya akhirnya memutuskan cerpen karya Banyu Biru (a.k.a. Rapael Sianturi) yang berjudul "Nikmat Kematian" sebagai pemenang. Prosesnya cukup Panjang. Meskipun, sedari awal saya sudah bilang ke Edward, bahwa penilaian ini bersifat subyektif. Namun, tetap saja ada beberapa langkah yang aku membuatku lebih obyektif.
Langkah-langkah tersebut sebenarnya sesuai dengan seleraku. Termasuk gayaku menulis novel. Mari kita Simak.
Lead
Pada awal membaca seluruh naskah yang masuk, saya menetapkan diriku sebagai orang bloong yang tidak suka membaca cerpen. Saya juga mencegah mencari tahu, siapa sih penulisnya. Ini untuk menjaga independensi dari penjurian.
Jika 150 kata pertama berhasil menarik perhatianku, maka tulisan itu akan mendapatkan plus poin. Jika tidak pun, saya tetap "memaksa" diriku membacanya.
Bahasa
Saya bukan pujangga, dan bukan juga penulis yang kaya akan diksi. Namun, beberapa orang melihatnya letak kekuatanku. Novel-novel yang aku karyakan tidak menggunakan bahasa yang ribet. Membuat alur kisah mengalir tanpa harus mengernyitkan dahi.
Sebabnya, novel misteri, horor, thriller, atau sejenisnya memang harus demikian. Jika terlalu banyak bahasa sastra, suasana mencekam yang ingin disampaikan akan buyar. Pembaca lebih banyak berkutat dengan diksi-diksi asing, ketimbang menikmati alur cerita.
Pun halnya dengan pemilihan kalimat. Saya selalu memilih kalimat pendek dan sedang. Bagi saya, itu bisa membuat pembaca lebih betah membacanya. Senada dengan aliran adrenalin.
Ide yang Unik
Sedari awal membuat draft BDK, saya sudah bertekad bahwa novel ini tidak bisa biasa-biasa saja. Dengan kata lain, bukan ide yang itu-itu saja. Semacam jumpscare yang gak jelas atau kisah tentang hantu penasaran yang tidak memiliki perasaan. Taunya cuman nakut-nakutin manusia doang.
Alhasil, saya banyak menggunakan bumbu twist plot dalam kisahku. Saya mengibaratkan diriku sebagai seorang supir, membawa penumpang melalui lorong berliku dan jalan tikus, alih-alih menempuh jalan raya yang sudah umum dilalui.
Untuk itu, saya selalu memberikan ruang gerak yang luas baik bagi karakter dalam kisah, maupun situasi yang dihadapi. Caranya? Ya, sangat bergantung dari imajinasi dan kreativitas penulis.
Closing
Banyak yang senang ending yang pasti-pasti. Kalau bukan yang happy, setidaknya yang bikin mewek. Saya sendiri lebih memilih sebuah akhir kisah yang menggantung. Tapi, bukan berarti ceritanya tidak tuntas.
Karena meskipun ada yang masih terkesan berlanjut, tetapi sesungguhnya kisah dalam novel itu sudah selesai. Tujuan sudah tercapai dan hasil sudah dicapai. Pembaca tetap bisa terpuaskan.
Urusan kisah yang masih menggantung saya serahkan kepada pembaca. Biarkanlah mereka bermain dengan rasa penasaran dan khayalan masing-masing.
Sekarang kita kembali membahas cerpen pemenang
Banyu Biru memulai kisahnya dengan analogi binatang, membandingkan dirinya sebagai manusia yang tentu saja lebih "terhormat." Namun, saya terkecoh. Karena si penulis berhasil mendeskripsikan dirinya tiada bedanya dengan binatang. Bahkan, lebih kejam. Sosok predator apex.
Selanjutnya, ia masuk ke konten. Paragraf demi paragraf kulahap perlahan. Ada kontradiksi di sana. Penulis menceritakan perubahan dirinya dari seorang yang seharusnya "normal" menjadi seorang yang haus darah.
Lalu, masuk ke dalam inti cerita tanpa bertele-tele. Si penulis melanjutkan kisah tentang momen ia membunuh korbannya. Semuanya diceritakan dengan sangat jelas dan lugas tanpa melebih-lebihkan. Mengalir begitu saja. Tentunya dengan pilihan bahasa yang ringan dan pas, sehingga membuat saya dengan mudah masuk ke dalam cara berpikirnya.
Seolah-olah melihat langsung kejadiannya di depan mata. Bahkan dalam beberapa kesempatan, saya juga sempat "menikmati" kengerian dari korban, dan bagaimana "puasnya" menjadi pelaku kejahatan.
"Sick. Sadis kamu, Rud."
Kalimat ini terdengar dari dalam batok kepalaku saat berpikiran seperti itu. Tentu saja tidak menggangguku, karena aku sepenuhnya sadar bahwa aku bukanlah seorang pembunuh psycho.
Namun, si Banyu Biru berhasil membuatku seperti itu. Paling tidak untuk sesaat. Kala saya membaca cerpennya. Bagi, saya inilah faktor yang paling penting yang membuatku memilih cerpen ini sebagai pemenang.
Yang lebih keren lagi. Meskipun cerpen ini bisa bikin mual, tetapi Banyu Biru berhasil memilih diksi yang tidak bikin muak. Ngeri tapi elegan.
Bonus poin selanjutnya adalah. Karakter yang ia ciptakan. Seorang psycho killer yang bengis, tetapi tetap manusiawi. Si Banyu Biru berhasil mengangkat sisi manusiawinya dengan mengulik kelemahannya, kegundahan hatinya, dalam melakukan aksi kejam. Membuat sang karakter menjadi lebih nyata, hadir dalam kehidupan.
Baca juga:Â Cerpen Nikmat Kematian
Nah, aku melihat peluang untuk mengembangkan karakter ini. Sangat luas, sehingga bisa dijadikan salah satu tokoh utama dalam novelku. Kebetulan aku sudah memunculkan salah satu tokoh antagonis. Seorang pemimpin dunia bawah tanah yang bengis, namun terkadang juga humanis.
Aku sudah punya nama untuk tokoh tersebut. Tentu atas izin beliau. Namanya Aki Hensa. Ha? Kompasianer.
Iya. Kompasianer AkiHensa. Sebagaimana kebiasaanku selalu mencari nama dari para Kompasianer untuk novel-novelku. Tersebab, aku kan Kompasianer. Hehehe.
Jadi, jika si Rapael Sianturi ini tidak keberatan. Aku ingin juga memasukkan namanya sebagai salah satu karakter. Apakah hanya sebagai salah satu tokoh penting, atau hanya cameo saja. Tentu saja atas izin beliau. Nanti saja aku menghubunginya langsung.
Selamat ya Banyu Biru. Sebagai penulis fiksi, aku rasa kamu sudah memiliki paket lengkap.
Tunggu kedatangan novel Berdansa dengan Kematian di depan rumahmu. Semoga engkau berkenan juga menuliskan resensi untuk novel tersebut.
Salam Bahagia
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H