Untuk itu, saya selalu memberikan ruang gerak yang luas baik bagi karakter dalam kisah, maupun situasi yang dihadapi. Caranya? Ya, sangat bergantung dari imajinasi dan kreativitas penulis.
Closing
Banyak yang senang ending yang pasti-pasti. Kalau bukan yang happy, setidaknya yang bikin mewek. Saya sendiri lebih memilih sebuah akhir kisah yang menggantung. Tapi, bukan berarti ceritanya tidak tuntas.
Karena meskipun ada yang masih terkesan berlanjut, tetapi sesungguhnya kisah dalam novel itu sudah selesai. Tujuan sudah tercapai dan hasil sudah dicapai. Pembaca tetap bisa terpuaskan.
Urusan kisah yang masih menggantung saya serahkan kepada pembaca. Biarkanlah mereka bermain dengan rasa penasaran dan khayalan masing-masing.
Sekarang kita kembali membahas cerpen pemenang
Banyu Biru memulai kisahnya dengan analogi binatang, membandingkan dirinya sebagai manusia yang tentu saja lebih "terhormat." Namun, saya terkecoh. Karena si penulis berhasil mendeskripsikan dirinya tiada bedanya dengan binatang. Bahkan, lebih kejam. Sosok predator apex.
Selanjutnya, ia masuk ke konten. Paragraf demi paragraf kulahap perlahan. Ada kontradiksi di sana. Penulis menceritakan perubahan dirinya dari seorang yang seharusnya "normal" menjadi seorang yang haus darah.
Lalu, masuk ke dalam inti cerita tanpa bertele-tele. Si penulis melanjutkan kisah tentang momen ia membunuh korbannya. Semuanya diceritakan dengan sangat jelas dan lugas tanpa melebih-lebihkan. Mengalir begitu saja. Tentunya dengan pilihan bahasa yang ringan dan pas, sehingga membuat saya dengan mudah masuk ke dalam cara berpikirnya.
Seolah-olah melihat langsung kejadiannya di depan mata. Bahkan dalam beberapa kesempatan, saya juga sempat "menikmati" kengerian dari korban, dan bagaimana "puasnya" menjadi pelaku kejahatan.
"Sick. Sadis kamu, Rud."