Masalah Tionghoa sudah terjadi sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun lamanya. Sudah sangat lama orang-orang Tionghoa di Indonesia menerima perlakuan diskriminatif. Baik dalam bentuk segregasi sosial, maupun peraturan pemerintah.
Dengan demikian, kami percaya bahwa penuntasan masalah Tionghoa bukan saja milik orang Tionghoa saja.
Lalu, mengapa harus melibatkan suku lainnya?
Ah, Jangan dijawab dulu. Karena perbincangan saya dengan seorang tamu mungkin bisa merefleksikan kondisi ini.
Saya duduk dengan seorang yang notabene bukan dari suku Tionghoa. Beliau adalah seorang Kiai, seorang sahabat lama, pemerhati masalah Tionghoa. Di meja bundar itu ada juga beberapa tamu undangan lainnya.
Nah, beliau lalu melemparkan sebuah pertanyaan sederhana. Sedikit terkesan nyeleneh, namun saya tahu jika itu adalah refleksi dari kecerdasannya.
"Adakah orang Tionghoa yang miskin?" Demikian beliau bertanya. Tanpa dikomando, semua yang berada di meja itu menjawab, "Adaaaa...."
Lalu, sang Kiai cerdas ini pun langsung menyambut pernyataan hadirin dengan sebuah jawaban yang menohok.
"Jika demikian, marilah kita bahu membahu, bekerja sama menuntaskan masalah sosial di Indonesia. Karena sesungguhnya, masalah kemiskinan, masalah ketidaksetaraan, masalah kesenjangan, bukanlah milik dari suku tertentu saja."
Semua terdiam. Termasuk saya. Aku memandang mata sang Kiai. Ada ketulusan berbalut keseriusan di sana. Pernyataan beliau yang sederhana ini sudah cukup melambangkan bahwa permasalah Tionghoa bukan hanya milik Tionghoa saja.
Namun, akan menjadi permasalahan seandainya suku Tionghoa masih dianggap sebagai suku terasing yang bukan bagian dari bangsa ini.