"Hei kamu, apa yang kamu lihat?" Chuang berseru kepada seorang kawannya yang bernama Hoey Beng.
"Kamu, ada di mal."
"Terus?"
"Sedang ngantri pesan bakmi."
"Bah, kamu juga tahu kalau keluargaku adalah pengusaha bakmi paling enak di seantero bumi." Chuang berkata tidak senang.
"Buktinya, kamu masih ngantri pesan bakmi." Hoey Beng menjawab acuh sambil menghabiskan sisa-sisa bakmi di dalam mangkuk ayamnya.
"Bahhh.... Ini tidak gratis, bayar sono ke mamaku."
Tapi, Hoey Beng tidak peduli. Sebabnya ia memang acuh. Dan, itu terpatri dari namanya. Masih tiga huruf; Joe Hoey Beng. Bukannya tidak patuh pada Keputusan Presiden No.240 Tahun 1967. Tapi, ayahnya memang telat mendaftarkan dirinya sebagai WNI. Saat seluruh teman-temannya sudah berubah nama, ia masih saja melekat dengan tiga suku kata. Dan, nama itu pun masih terbawa hingga kini.
Tingkah lakunya sesuai dengan namanya. Cina banget. Ia pandai melihat kesempatan. Apapun ia lakoni sepanjang bisa menghasilkan uang. Mulai dari menjual kendaraan bekas, menjadi makelar properti, hingga penjual asuransi. Ia tidak percaya dengan frasa "Time is Money." Menurutnya itu adalah budaya barat. Tidak cukup hanya itu saja. Jadinya, ia pun mengadopsi sebuah slogan terkenal yang ditelurkan oleh Den Xiaoping, Bapak Reformasi China: Shijian Jiushi Jingian, xiaolu jiushi shengming. Artinya adalah; Waktu Adalah Uang, Efisiensi adalah Kehidupan.Â
Lha, di mana perbedaannya? Jelas beda dong. Satu Bahasa Inggris satu lagi beraksara Mandarin.