Dalam Vinaya (aturan) kebhikkhu-an, perilaku itu salah. Mencegah perilaku ketamakan. Lalu, "video viral" pun muncul. Netizen ala zaman sang Buddha pun melayangkan tuduhan. Tiada kata yang lebih indah dari "RAKUS!!!"
Si Bhikkhu tidak punya dalil. Kenyataan bahwa aksinya sudah menimbulkan kehebohan. Itu sudah terjadi. Dan, itu benar. Ia pun minta maaf.
Menonton video setengah-setengah, sama dengan mengabaikan alasan sang Biksu bahwa "menimbun" makanan agar pelatihan dirinya bisa menjari lebih baik. Tidak perlu menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer untuk mendapatkan dana dari umat. Itu belum termasuk ancaman binatang buas di tengah hutan.
Ah, saya jadi ingat masa kecilku. Lahir di keluarga Tionghoa. Saat aku kecil, Cipiki-Cipika adalah hal yang "menjijikkan." Tapi, seiring tumbuh kembangku, aksi tersebut menjadi biasa setelah bergaul dengan kawan-kawan dari suku lain.
Mungkin saja mama tidak senang, karena ia berpikiran Cina Totok. Tapi, saya tidak peduli. Karena itu saya namakan hal tersebut dengan peleburan budaya. Kearifan lokal yang harus dianut, karena baik adanya.
Apalagi jika mama tidak melarang. Mungkin saja saya sudah menjadi tukang "Cipika-cipiki." Karena memang saya suka dengan aksi itu.
Sebagaimana anak yang menjadi "korban isap lidahku." Ada banyak pernyataan empati tentang bagaimana perasaan orangtua si anak, melihat Dalai Lama melecehkannya. Dalam kenyataan, si ibu hadir di acara. Ia terlihat kaget dan senang bukan kepalang ketika si anak melakukan aksi "tak senonoh" itu dengan Dalai Lama.
Ada pancaran keharuan di sana. Ada sinar kedamaian di sana. Tersirat kebanggan. Tentang si anak yang sudah memahami arti dari kedamaian batin. Menjadi dewasa dengan cara yang tidak biasa. Menjadi dewasa dengan cara yang tidak layak bagi sebagian orang.
Terlalu aneh, sehingga Dalai Lama pun harus meminta maaf.
Saya tidak mau terlalu banyak berkomentar lagi. Saya hanya berharap agar mama saya tidak menonton video itu. Sehingga akhirnya dia melarang saya untuk "Cipiki-cipika" lagi.
Ah, mana tahan eike.