Diliputi rasa penasaran, EfWe ingin buru-buru melihat kondisi korban. Apa yang ia dengarkan tadi terkesan janggal. Akan tetapi, naluri investigasinya berkata lain. Ia harus memulai penyelidikan sedari awal, tidak boleh tergesa-gesa. Itulah mengapa ia memasang mata, panca indera, dan juga naluri saat pertama kali memasuki rumah mewah itu.
Ia melihat ke sekelilingnya. Pandangan matanya tertuju kepada seorang wanita cantik, usianya sekitar 40 tahun dan sedang duduk di sofa. Si wanita menangis tersedu-sedu, ditemani oleh seorang anak gadis yang diperkirakan berusia sekitar 16 tahun. Di meja makan, terlihat tiga orang asisten rumah tangga duduk berdampingan. Seorang penyidik wanita sedang berbincang dengan ketiganya. Dan di sudut ruang lain, seorang lelaki paruh baya juga sedang memberikan keterangan kepada seorang penyidik. EfWe memperkirakannya sebagai supir atau tukang kebun rumah mewah itu.
EfWe urung menanyakan perkembangan hasil investigasi terhadap saksi-saksi kepada para anak buahnya. Ia ingin menguji nalurinya, mengetes kemampuan detektifnya terlebih dahulu. Sekali lagi ia melihat ke sekelilingnya, tetapi tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Tidak ada tanda-tanda perkelahian. Tidak ada pula tanda-tanda pengrusakan, atau sesuatu yang menarik perhatiannya. Semua perabot masih berada pada tempatnya dan tidak ada yang rusak.
"Dimana letak korban?" EfWe bertanya lagi kepada si penyidik junior yang sedari tadi berjalan di sampingnya.
"Siap, Pak." Si polisi muda itu berjalan menuju sebuah kamar yang terletak di sebelah barat rumah itu. Pintunya terbuka dan dari luar EfWe bisa melihat seorang rekannya sedang sibuk mengambil gambar dari kamera.
EfWe membuka pintu itu lebih lebar lagi. Ia mencari-cari sosok korban yang dimaksud. Akan tetapi, ia tidak bisa menemukannya.
"Di mana mayatnya?" ia bertanya kepada si juru kamera. Rekannya itu tidak menjawab, ia hanya menunjukkan ekspresi yang tidak biasa. Sedikit kebingungan, lebih banyak kengerian. Ia menunjuk ke arah tempat tidur. Dan sekali lagi, Kompol EfWe tidak melihat sosok mayat di sana. Di atas dipan hanya terlihat ceceran darah segar bercampur remahan-remahan kasar. Di tengah-tengahnya, terletak sebuah lembaran dengan tulisan berwarna merah yang cukup mencolok mata. Sebuah kode, sebuah simbol, atau sebuah oretan. EfWe masih belum tahu apa itu, kecuali tulisan yang ia tahu berupa angka.
Angka: 16/7. Â
"Ada apa ini?" EfWe bertanya heran.
"Mayat korban, pak!" jawab si juru kamera.
"Maksud kamu?"