"Bilang gak ya, bilang gak ya?"
Itu adalah pertanyaan yang berseliweran di benakku dalam beberapa hari terakhir ini. Ia sudah seringkali muncul menggodaku untuk menuliskan artikel ini. Ia sudah lama berkecamuk di sana, menjaga perasaan suka cita, sekaligus bangga, sembari mengambil sapu mengusir "malu-malu" dari si kucing.
Sebabnya...
Saya telah berhasil menakklukkan tantangan menulis novel dalam waktu 30 hari. Tepatnya dimulai sejak 16 Desember 2022 dan berakhir pada 16 Januari 2023.
Novel misteri, sobat. Sebuah genre yang sudah lama memikat hatiku, membuat adrenalinku menjalani hidup berliku, dan menjadikanku seperti ini. Pencinta "hantu."
Semuanya dimulai pada saat saya menjadi host Dee Lestari dalam webinar yang diadakan oleh Komunitas Penulis Mettasik. Di sana, si penulis novel Supernova ini berbagi tips menulis populer. Tentunya tentang fiksi, karena beliau adalah fiksianer.
Sementara aku mengklaim diriku sebagai penulis 'palu gada.' Berbagai genre yang sekiranya menarik, akan kutuliskan di Kompasiana. Itu karena aku hanya senang menulis saja, tidak ada keahlian khusus sebagaimana para penulis professional lainnya. Tidak ada. Kecuali fiksi, masih jarang-jarang berada di sana.
Lalu, ide ini pun muncul. Bagaimana jika aku membuat novel, dipublikasikan oleh penerbit besar, dan dijual di toko buku. Sekalian juga dilirik produser film, main di layar lebar. Ah, ngaco! Saya belum selevel itu.
Alhasil, tetap saja kubuka laptop dan mulai menuliskan cerpen-cerpen misteri di Kompasiana pada pertengahan Desember 2022 silam. Beberapa sudah kutuliskan, terjadi begitu saja tanpa ada perencanaan. Apalagi untuk dipublikasikan.
Awalnya, ada tiga tulisan yang menarik perhatianku. Yang pertama berjudul "jangan buka halaman 277." (Kompasiana, 10 Desember 2022). Kisah itu tentang Cindy (di novel namanya berubah menjadi Maandy Verhalen de Zon), seorang gadis kantoran yang mencari ghost writer untuk bosnya yang narsis. Apa mau dikata, ia bertemu dengan penulis hantu beneran. Terciptalah 35 eksemplar buku yang memuat cerita berbeda. Cerita yang sangat personal bagi setiap pembacanya. Cerita yang bisa meramal jalan hidup dan mengutuk pembacanya. Buku terkutuk yang berjudul "Gali Lubang Tutup Lubang."
Tulisan kedua yang terlibat di novel ini berjudul "Berdansa dengan Kematian: The Beginning." (Kompasiana, 11 Desember 2022). Menceritakan seorang gadis remaja yang bernama Arundaya Gayatri. Ia lahir di desa Kawurungan. Sebuah desa yang terpencil dan terisolasi. Di sana ia memiliki masa lalu yang kelam. Menjadi kutukan bagi desa, menjadi sangkakala kematian bagi warga desa.
Syahdan, suatu waktu setelah ayah bundanya meninggal, ia pun dikirim ke kota tinggal bersama saudara ayahnya. Selama lima tahun ia hidup tenang, hingga akhirnya sesuatu dari masa lalu kembali datang mencengkramnya. Zasil, pangeran dari Kerajaan gaib Kawurungan. Anak iblis penguasa yang ingin mempersuntingnya.
Cerpen ketiga berjudul "Kisah Pesugihan Tuyul Warung Bakso" (Kompasiana, 9 Desember 2022). Dalam kisah ini, saya mengambil karakter Tomi (Thomas Ananda Kantaka), seorang jurnalis majalah misteri yang akan terlibat dalam sebuah penyelidikan kasus misteri.
Dari tiga cerpen ini, saya pun akhirnya berhasil membuat sebuah novel yang berjudul "Berdansa dengan Kematian." Totalnya 394 halaman. Tantangannya adalah bagaimana menggabungkan tiga cerpen berbeda, tiga tokoh berbeda, dan tiga alur berbeda menjadi sebuah novel lengkap dengan resep anti bingung.
Singkat cerita, novel itu pun jadi. Kukirimkan ke beberapa sahabatku untuk membacanya. Luar biasa; respons mereka positif. Sebagian memuji, tetapi lebih banyak lagi yang jatuh hati.
Ide liar berkembang, mengapa tidak langsung menyasar penerbit besar? Untungnya Kompasianer Anis Hidayatie termasuk salah seorang yang jatuh cinta kepada tulisanku. Ia pun memperkenalkanku dengan Mba Retno dari Elex Media. Naskah dikirim, responsnya hangat.
Menurut Mba Retno, novelku layak diterbitkan. "Ceritanya bagus, mengalir, dan unpredictable. Membacanya juga bikin kuduk berdiri dan banyak twist plot di sana-sini."
Beliau sampai bertanya, apakah aku pembaca Sydney Sheldon atau Agatha Christie? Karena novel ini memiliki kekhasan yang sama dengan kedua penulis itu.
Aku jawab, "tidak pernah." Sejujurnya memang tidak pernah. Tapi, kalau Nick Carter "iya." Eh...
Saya memang dipengaruhi oleh karya-karya Michael Crichton, Tom Clancy, dan terkhusus Dan Brown. Gaya yang kuadaptasi dari penulis terakhir ini adalah dengan membuat beberapa scene yang berbeda menjadi sebuah alur cerita bersambung. Tidak lupa juga pembaca dibuat penasaran pada setiap akhir bab. Selalu ada yang baru dan seru.
Di antara semuanya, yang paling menarik adalah pemilihan karakter utama. Dari 6 tokoh utama, ada tiga nama yang kucomot dari sahabat Kompasianerku. Mereka adalah:
Arundaya Gayatri:
Tokoh utama ini sejujurnya terilhami dari Kompasianer Anis Hidayatie. Bukan kisah hidupnya, tetapi semangat perjuangannya memajukan literasi di desa "terpencil." Kesamaan yang kubuat adalah nama "Daya" yang sama-sama tersemat pada Arundaya dan Anis Hidayatie.
Lintang Ayu a.k.a. Kompasianer Ayu Diahastuti
Di novel, saya menjadikannya sebagai seorang gadis yang memiliki gelar Doktor di bidang Psikologi. (berdasarkan kutipan dari novel):
Terlepas dari gelar akademiknya, Lintang selalu tampil sederhana. Rambut ikal yang dipotong sebahu dengan gaya berbusana apa adanya. Celana jin, kaos oblong, dan sepatu model wedges kesenangannya.
Namun, di balik kesederhanannya, kecerdasaanya tidak dapat disembunyikan. Tatapan matanya yang tajam, mengesankan pemikiran yang dalam. Tutur katanya yang teratur, gaya bahasanya yang terstruktur, dan cara penyampaiannya yang terukur, sudah cukup membuat orang-orang paham. Ia adalah orang cerdas. Lintang menyenangi hal-hal yang berbau mistis. Kecintaannya itu tidak asal-asalan. Sudah sedari kecil. Sudah sejak ia memahami dunia lain. Sudah sejak ia dimaklumatkan memiliki karunia sebagai seorang anak indigo.
Felix Sitorus a.k.a. Kompasianer Engkong Felix Tani (berdasarkan kutipan dari novel)
Felix Sitorus. Seorang lelaki yang lahir di Huta Panatapan, Toba, tepi utara Tanah Batak. Felix adalah seorang arkeolog yang mencintai Indonesia. Kecintaannya terhadap bumi pertiwi telah menjadikannya sebagai seorang yang tidak pernah bisa berdiam diri. Menjelajahi seluruh penjuru Nusantara adalah kegemarannya. Mengulik sejarah adalah hasratnya. Ia memiliki sebuah prinsip. "Mereka yang tidak mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya."Â
Felix adalah sahabat Tomi sejak kecil. Kulitnya berwarna kecoklatan dengan rambut hitam dipotong model cepak. Wajahnya ramah, meskipun terkadang ia juga bisa tampil menyeramkan. Apalagi jika sedang membahas tentang etika dan moralitas. Felix tidak menyenangi kemunafikan. Ia terdidik dari sebuah keluarga yang menjunjung tinggi kejujuran.
Basuki Waluyo a.k.a. Mbah Ukik (berdasarkan kutipan dari novel)
Rombongan tiba di lokasi pada pukul 11:14 siang. Kendaraan diparkir tepat di hadapan Balai Desa. Seorang pemuda datang menghampiri mereka. Usianya belum terlalu tua. Tomi memperkirakannya sekitar awal 30 tahun. Badannya terlihat kurus, tetapi berotot. Berkumis tipis dan wajahnya ramah.
Pemuda itu menjabat tangan seluruh anggota rombongan dan memperkenalkan dirinya, "Nama saya Basuki Wahyono. Panggil saya Mbah Ukik, Kepala Desa di sini," Ia menjabat tangan seluruh anggota rombongan. Setelah itu, ia tersenyum lebar. "Jangan khwatir dengan panggilan Mbah. Aku bukan kakek tua yang menyamar. Nama panggilan itu sudah melekat padaku, sejak aku kecil. Dipanggil Mbah karena gayaku yang suka menggurui. Hehehe." Mbah Ukik terkekeh-kekeh.
Dan masih ada beberapa lagi. Tiga di antaranya adalah Tante Widz (Widz Stoop) sebagai istri mafia, Pak Tjiptadinata Effendi sebagai seorang guru sekolah yang baik hati, dan juga pak Firdaus (Ayah Tuah) sebagai guru killer. Oh ya, mohon maaf saya belum meminta izin menggunakan dua nama terakhir ini.
Dan, juga ada dua nama yang kucomot dari teman Kompasianer Mettasik. Si Sumana Devi sang peri kecil dan Tante Iing (Felicia) sebagai ibu angkat Arundaya.
Progress sementara disusun. Ada seorang Kners senior yang membantu saya dalam proses penyuntingan. Namanya? Entar aja ya, biar ada kejutan. Sekalian dengan kejutan-kejutan lainnya yang belum aku ungkap dulu.
Ah, cukup ah. Tulisan ini sudah kepanjangan. Nanti bisa menjadi novel lagi. Tapi, Btw, Mba Retno memberikanku tantangan, "Mas Rudy, siap-siap buat sekuelnya ya."
Saya menjawab, "Siap." Dan saat ini, buku novel kedua sementara kukerjakan. Judulnya cukup unik: "Berdansa dengan Kematian: 16/7."
Mengapa 16/7? Karena itu terkait dengan mistisme angka. Sesuatu banget yang sesuai pengetahuannku sebagai seorang Numerolog. Sebagian tokoh pada buku pertama akan tetap ada, sebagian lagi rehat dulu, sebagian lagi ada yang baru. Dan mereka bisa saja berasal dari nama-nama Kners sahabatku. Semisalnya Muthiah Alhasany sebagai guru Sufi, Lilik Fatimah Azzahra sebagai guru silat, dan Arief R. Saleh sebagai guru-guruan. Eh...Â
Atau bisa juga kamu, kamu, dan kamu.
Dengan demikian, melalui tulisan ini saya juga ingin meminta izin kepada teman-teman semua. Mungkin saya akan rehat lebih lama lagi di Kompasiana.
Namun, saya tidak pernah melupakan kalian semua. Karena tanpa Kompasiana, saya tidak mungkin jadi penulis. Tanpa Kompasianer, novel ini tidak akan pernah terwujudkan. Terima kasih banyak saya ucapkan.
Sesekali saya masih hadir di Kompasiana untuk membaca, menyapa, dan sesekali pun masih menulis, tetapi tidak aktif seperti dulu lagi.
Sampai kapan? Sampai novel ketiga dari tiga seri "Berdansa Dengan Kematian" selesai kubuat. Judul ketiga pun sudah ada, tetapi masih rahasia. Rencananya sih, "Berdansa dengan Kematian: ......." Hehehe.
Target finishnya? Mungkin sampai dengan akhir tahun ini. Sekaligus menantang diriku membuat 3 novel dalam waktu setahun. Semoga bisa.
Demikiyan ya manteman. Jangan lupa beli novelnya kalau sudah terbit di Gramedia nanti, ya. Wassalam...
Sampai jumpa, sehat selalu! Cia You!
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H